Sabtu, 28 Juli 2018

Apakah Ada Penulis Asal Pemalang ?

Tags




Pressiwa.com - Banyak yang beranggapan, bahwa menulis itu susah. Mereka bilang, menulis itu butuh ketrampilan khusus, hanya profesor saja yang bisa menulis. Begitulah katannya.

Padahal semua orang bisa menulis. Baik yang lulusan Sarjana, maupun yang lulusan SMP pun sebetulnya juga punya kemampuan untuk menulis. Buktinya Pak Dahlan Iskan, yang notabene gak pernah mengenyam studi S1 tulisannya begitu mendakik-ndakik dan tajam-mendalam.

Pun dengan Caknun, atau yang kerap disapa dengan Emha Ainun Najib. Kita sering mendapati tulisan-tulisan Caknun nongkrong di media-media papan atas.

Bukan sekali dua kali tulisan-tulisan Caknun menghiasi media lokal-nasional, tapi sudah ribuan kali hingga Caknun kini dikenal sebagai begawan esais.

Kalau Caknun saja yang gak mengenyam pendidikan tinggi itu bisa menulis esai yang setajam silet, mestinya yang bergelar Sarjana tentu saja jauh lebih bisa dong ya.

Tapi dasarnya aja kegiatan menulis di media itu sudah lama distreotipekan susah. Apa-apa kalau sudah dianggap susah dari awal ya, akan selamanya susah terus. Pada akhirnya, orang-orang yang rajin menulis itu kita temukan jarang sekali.

Tapi beruntung, di Kota Pemalang masih ada beberapa orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Taruhlah semacam Zahratul Wahdati , seorang cerpenis asal Randudongkal yang produktif sekali dalam menghasilkan ceperpen-cerpen kece baday.

Atau Lutfi Aminuddin, seorang penulis kolom opini dan esais asal Petarukan yang gagasan-gagasannya amat kekinian dan tajam-mendalam. Kedua penulis hebat asli Pemalang itu berangkat dari keyakinan yang sama.

Semoga tulisan-tulisan itu membawa sumbangsih yang besar bagi peradaban. Apalagi kita tahu, era pencerahan Eropa (renaisance) ketika itu diawali dengan rakyatnya yang gemar menulis. Sesuatu yang inherenlah kalau suatu negara yang rakyatnya doyan menulis itu berkelindan dengan kemajuan. Buktinya negara-negara maju semacam Amerika Serikat dan Inggris paling terdepan dalam memproduksi tulisan-tulisan ilmiah , sastra, maupun popular.

Ayo Kita Mulai Menulis

Sambil ngopi di pagi hari, gak salahlah kalau kita nyambi-nyambi nulis. Nulis opini, views, news, esai, feture, cerpen, cermak, jurnal, dan jenis tulisan lain oke-oke saja kita coba. Tulisan gak harus yang ilmiah-ilmiah banget kok, gak harus juga menulis dengan istilah yang bikin pusing pala barbi. Aktivitas keseharian yang kita lakukan juga bisa ditulis.

Misalnya saja saat di Pemalang sedang marak pencurian sepedamotor. Maka kita bisa menulis tips-tips bagaimana caranya supaya sepeda motor tetap aman dari gondolan para curanmor yang kemplu itu.

Atau kita bisa menulis aneka tradisi menarik yang ada di desa-desa. Kan disetiap pedesaan Pemalang banyak tuh, aneka rupa tradisi menarik nan kece untuk ditulis. Itung-itung bisa ikut nguri-nguri budaya juga kan, bosquuu.
Gak usah grogi dengan kemampuan memahami Ejaan yang Disempurnakan (EYD) yang masih awul-awulan. Kepemahaman kita terhadap EYD akan membaik dengan sendirinya jika kita mulai rajin menulis.

EYD malah sebetulnya gak terlalu penting-penting amat kok. Wong media-media koran cetak, maupun portal media besar macam Kompas atau Tempo aja kadang gak terlalu patuh sama EYD. Media itu mempunyai aturan style house, atau semacam gaya bahasa sendiri. Makannya akan kita temukan ada sedikit perbedaan format tulisan yang ada di Kompas dengan yang ada di Detik misalnya. Jadi perkara EYD nanti-nati ajalah, itu nomor dua, yang penting kita mulai menulis aja dulu. Isi tulisan yang sebetulnya jauh lebih ditekankan.

Di Pemalang sendiri, kini sudah banyak menggeliat portal media online. Mulai dari yang paling tua Tribratanews.com, Kabarpemalang.com, sampai yang terbaru Pressiwa.com. Dari keempat portal media online itu, kita tinggal milah-milih media mana yang kira-kira seselera dengan gaya bahasa tulis kita.

Katannya Pemalang Pusere Jawa. Kalau filosofi dan city branding yang diusung seperti itu. Tentu kita harus menagih makna puser yang bagaimana ? Puser itu bersimilar dengan pusat. Kalau konteks pusatnya Jawa. Berarti Pemalang sedang mencoba merevitalisasi sebagai pusat kebudayaanya Jawa. Kalau benar demikian, tapi kok gak banyak sih tulisan-tulisan tentang budaya Pemalang di media-media digital selama ini. Kalaupun ada cenderung kalah tenar.

Buktinya tradisi kuda lumping masih kalah dengan tradisi Kirab Kiai Slamet yang ada di Surakarta. Padahal Kota Surakarta tidak secara institusional menyebut sebagai pusat (pusere ) kebudayaan Jawa sebagai city branding-nya. Nah supaya wacana kepemalangan lebih menggema di seantero negeri, baik budayanya, wisatannya, kulinernya, dan segala potensi yang ada. Kita harus menuliskan tentang kepemalangan itu ke media-media digital maupun cetak. Percayalah dengan menulis, kemajuan suatu daerah bisa digapai.

Penulis Lutfi Aminuddin
Lutfi Aminuddin adalah kolumnis asal Petarukan-Pemalang yang tulisannya sudah dimuat di media-media lokal-nasional. Tulisan Lutfi bisa dilihat di Pressiwa, Geotime, Siswapedia, Hipmee, Tinulis, dan masih banyak lagi.


EmoticonEmoticon