Senin, 25 Desember 2017

Menengai Antara Pendukung LGBT dan Penolak LGBT

Tags


Pressiwa.com - Beberapa minggu belakangan media nasional, lokal, dan sosial ramai membicarakan LGBT, sebuah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Pro dan kontra pun muncul dari masyarakat umum, pejabat publik, hingga kaum agamawan. Menindak lanjuti updetan status di facebook oleh Pemred Pressiwa, si Lutfi Aminuddin, yang bilang bahwa teori LGBT ada dua, ada yang bersifat given, dan konstruksi sosial. Melihat tulisan mas Lutfi Aminuddin, saya jadi berniat Menulis tentang LGBT.

Memang masalah LGBT saat ini sedang sangat ngetren. Masyarakat umum terbelah menjadi dua, yang mendukung dan menolak; pejabat publik terkesan mengambil posisi aman; sementara mayoritas kaum agamawan menolak. Terlepas dari itu semua, respon yang muncul kebanyakan berupa mitos, bukan fakta sehingga yang terjadi adalah pelecehan, penudingan, bahkan penghakiman terhadap LGBT.

Pelecehan yang kerap muncul dari masyarakat yang menolak adalah memposisikan LGBT lebih rendah dari binatang dengan komentar, “Binatang saja tak mau dengan yang sejenis, kalian lebih rendah dari binatang.” Mitosnya binatang selalu menyukai lawan jenis.

Ironisnya, kalimat tersebut seringkali keluar dari mulut orang-orang yang, apakah di sekolah menengah ataupun perguruan tinggi, pernah menerima pelajaran biologi, terutama tentang genetika dan sejumlah kemungkinan penyimpangannya.

Faktanya, riset Geoff R MacFarlane dkk. dari Biological Sciences, School of Environmental and Life Sciences, University of Newcastle, Australia, mengungkap 130 spesies burung yang menunjukkan perilaku homoseksual.

Riset Redolfo Ungerfeld dkk dari Departamento de Fisiología, Facultad de Veterinaria, Universidad de la República, Montevideo, Uruguay, juga melaporkan domba, kambing, dan sapi pada musim tertentu berperilaku homoseksual.

Mereka yang pernah tinggal di desa tentu paham dengan riset Redolfo. Cara lain mengamati yang paling mudah ialah datang ke tempat penjual hewan qurban saat Idul Adha, ketika mereka yang semuanya jantan hidup bersama.

Sementara pada manusia, riset Pekka Santilla dkk dari Center of Excellence in Behavior Genetics, Department of Psychology, A˚bo Akademi University, Finland, pada 2007 yang meneliti 6001 perempuan dan 3152 pria yang memiliki saudara kembar dan saudara kandung, berpotensi menyukai sesama jenis secara laten sebesar 32.8% pada pria dan 65.4% pada perempuan, meskipun mereka tidak pernah melakukan kontak seksual.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka berperilaku normal dalam artian menyukai lawan jenis. Riset lain di Amerika menyebut peluang terjadinya homoseksual secara genetik pada pria sebesar 2.6% dan pada perempuan 4.7%.


"Miskin Gagasan."


Mitos lain ialah munculnya tudingan perilaku LGBT berasal dari dunia Barat karena ada anggapan dunia Timur tak mengenal perilaku tersebut. Lagi-lagi ini mitos yang melanggengkan prasangka Timur dan Barat yang memang selama ini telah berkembang.

Faktanya, perilaku LGBT tercatat di Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 Masehi yang memotret pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa. Ironisnya pelaku LGBT adalah Cebolang, seorang santri, yang sedang melakukan petualangan untuk mengolah batin.

Tradisi Timur lain yang juga mengisahkan hubungan seks sejenis adalah salah satu bagian dari Kitab Kamasutra dari India. Penghakiman juga muncul oleh kebanyakan kaum agamawan, terutama dari tradisi agama samawi, yang menyebut kaum LGBT sebagai pendosa besar yang tidak layak hidup, Satu-satunya referensi mereka hanyalah berdasar pada kitab suci yang menceritakan Tuhan telah menghancurkan kaum Luth atau Lot karena perilaku penyimpangan homoseksual.

Ketika itu, di masa awal peradaban manusia dapat dipahami semua dosa—dari menyekutukan Tuhan, hidup mewah, menumpuk harta, hingga seks bebas—dihukum Tuhan dengan penghancuran. Agama belum dituntut memberi tawaran solusi berikut metodologinya.

Sebetulnya belakangan muncul reinterpretasi segelintir agamawan terhadap kisah kaum Luth, baik pada Al Qur`an maupun Injil. Namun, menjadikan kitab suci sebagai satu-satunya referensi dengan mengabaikan kemungkinan alat bantu lain untuk menghadapi LGBT menyebabkan kaum agamawan miskin gagasan alternatif.

Pada konteks ini, bila cara ini terus dipertahankan, maka agama tak mampu menjadi solusi dari problematika masyarakatnya. Paradigma berpikir kaku seperti itu hanya membuktikan tesis bahwa agama tak mampu menanggulangi problematika umat manusia.

Dua kutub. Jurang pengetahuan yang menganga antara mitos dan fakta itulah yang membuat semua pihak terjebak di jalan yang berujung pada dua kutub bertentangan yang mustahil bertemu. Kelompok penolak ngotot bahwa LGBT tak layak hidup bahkan halal diusir dari tempat tinggalnya dengan melakukan penyisiran.

Di lain pihak, kelompok LGBT beserta pembelanya kian gigih melawan dan memperjuangkan hak hidupnya hingga menuntut legalisasi perkawinan sesama jenis. Pada konteks ini negara tentu mutlak harus melindungi setiap warga negara tanpa membeda-bedakan preferensi seksual mereka. Sementara soal legalisasi perkawinan membutuhkan kajian yang lebih dalam.              

Sejatinya, bila umat Islam bersedia menggali dengan pendekatan lain seperti pendekatan historis dan sosiologis beragam tradisi, maka akan muncul banyak gagasan alternatif dalam merespon persoalan LGBT. Contoh terdekat di tanah air adalah melongok ke tradisi pra Islam, Agama Bugis Kuno, di Sulawesi Selatan.

Tidak seperti kebanyakan masyarakat tradisional lain yang hanya mengenal dua jenis gender yaitu maskulin dan feminim, mjasyarakat Bugis mengenal lima macam gender: oroane (maskulin), makkunrai (feminim), calabai (pria yang feminim), calacai (perempuan yang maskulin), dan bissu.

Riset tentang bissu pernah diungkap oleh Syahrul dari STAIN Bone, Watampone, dengan judul riset: ‘Menjadi Muslim yang Animis: Telaah Identitas Bissu Segeri di Kab. Pangkep.’ Catatan yang lebih kuno dapat diperoleh di naskah kuno I La Galigo, yang konon lebih dramatis ketimbang kisah Mahabarata yang terkenal.

Di masa itu raja pemeluk agama Bugis Kuno yang memimpin kerajaan berhadapan dengan realitas kehadiran manusia yang secara biologis pria, tetapi bertingkah laku perempuan yang disebut Calabai. Sebaliknya, ada sebagian kecil perempuan bertingkah laku pria yang disebut Calalai. Bukan hanya perilakunya, mereka juga memiliki kecenderungan seksual menyukai sesamanya.

Alih-alih memarjinalkan mereka, Raja justru memiliki inovasi yang luar biasa dan tak terduga. Raja yang didukung institusi agama Bugis Kuno memberi tempat terhormat kepada mereka. Raja memberi ruang kepada para Calabai dan Calalai 'naik kasta` untuk menempati posisi terhormat dengan kedudukan jauh di atas raja.

Posisi terhormat itu disebut Bissu, alias pendeta keagamaan, dengan seeorang yang dituakan untuk ditunjuk sebagai ketua Bissu. Bissu diberi peran aktualisasi diri yang penuh makna dalam kehidupan. Bissu berperan sebagai penasihat raja, penanggung jawab upacara kerajaan dan upacara spritual, perias keluarga raja, serta diberi tanah garapan untuk menghidupi dirinya. Kerajaan pun mensubsidi kehidupan mereka sehingga jumlah mereka yang segelintir benar-benar terhormat secara finansial.

Bagaimana Calabai dan Calacai menjadi Bissu? Kerajaan, masyarakat, dan keluarga—serta para Bissu—memantau setiap anggota masyarakat untuk mendeteksi anak-anak yang berperilaku seperti Calabai atau Calacai.

Mereka lalu memantau pertumbuhan anak hingga remaja untuk mengamati perkembangan kecenderungan seksual mereka. Apakah mereka kembali seperti pria dan perempuan pada umumnya, atau tetap Calabai dan Calacai.
Bila ternyata tetap Calabai dan Calacai, komunitas Bissu lalu merekrut mereka dan membungkusnya dengan istilah spritual: "mereka memperoleh kehormatan karena mendapat panggilan gaib untuk menjadi Bissu."

Bissu, dipimpin ketua Bissu, lalu memberi mereka serangkaian latihan olah kanoragan, disiplin, hingga puasa mengelola nafsu termasuk nafsu birahi. Salah satu puasanya berupa mutih 40 hari. Mereka juga diberi pelatihan magang menjadi Bissu dengan melakukan sejumlah tugas-tugas profesi Bissu.

Terakhir, mereka diberi serangkaian ujian berkali-kali untuk lulus menjadi Bissu. Pertanda keberhasilan ujian ditandai dengan hujan deras. Bila lulus, mereka dilantik menjadi Bissu disaksikan pemerintah dan masyarakat.

Mereka pun kemudian hidup sebagai pendeta yang harus tampil sopan, malebbi (kharismatik), serta senantiasa menjaga perilaku dan tutur kata santun ketika bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Mereka pun wajib mentaati aturan ketat lain seperti tidak boleh berhubungan seksual dan menikah.
Dulu masyarakat Bugis Kuno pun sangat menghormati mereka. Di masa itu, di sebuah wilayah setingkat kecamatan maksimal terdapat 40 Bissu yang bertanggung-jawab memimpin upacara melayani warganya.

Sebuah keluarga yang mendapati anaknya berperilaku Calabai atau Calacai tak akan merasa malu, tetapi justeru merasa terhormat. Suku Bugis di masa itu, dengan hanya berbekal pranata kuno justeu mampu menempatkan `yang berbeda` dalam posisi terhormat: memanusiakan manusia hingga ke tataran metodologis melakukan terapi.


"Jalan Ketiga."


Sejatinya tradisi Islam pun tak terbebas dari kenyataan harus berhadapan dengan perilaku umatnya yang memiliki kecenderungan seksual berbeda. Sebut saja kebiasaan mairil (jatuh cinta pada sesama jenis) para santri di pesantren. Karena dalam kurun waktu lama para santri itu tinggal di asrama yang hanya dihuni oleh sesama jenis.
Meskipun tabu, umumnya kiai, mentolelir realitas tersebut dengan tidak mengeluarkan mereka.

Belakangan beberapa kiai mencegahnya dengan memberi ruang bagi santri pria dan santri wanita bertatap muka pada aula besar di waktu tertentu.
Tradisi Islam pun sebetulnya memiliki sejarah positif dalam memperlakukan seorang homoseksual secara terhormat mirip dengan tradisi agama Bugis Kuno. Kisah itu terjadi pada masa keemasan Islam di bawah Khalifah Harun Al Rasyid, pada Dinasti Abasyah, di Bagdad.

Ketika itu Khalifah memiliki penasihat yang juga seorang sastrawan cerdik dan jenaka serta kontroversial bernama Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami alias Abu Nawas. Bila khalifah bosan dan mengalami kebuntuan dalam memecahkan persoalan kerajaan, beliau sering meminta nasihat dan hiburan dari Abu Nawas yang disebut-sebut homoseksual.

Salah satu bukti Abu Nawas seorang homoseksual atau paling tidak pernah memotret kehidupan homoseksual di masa itu tercermin dalam dua puisinya yang terkenal berjudul Love is Bloom dan Lelaki Lebih Berharga dari Wanita. Khalifah memilih Abu Nawas karena kompetensinya bukan karena preferensi seksualnya.
Bila umat Islam ingin menjadi bagian dari solusi LGBT yang bergerak massif saat ini, mau tak mau pemimpin agama harus menggeser paradigma dalam menempatkan LGBT bukan sebagai anak manusia yang harus dimarjinalkan, dimusuhi, bahkan diolok-olok.

LGBT harus diterima sebagai realitas yang harus dihadapi dengan bijak serta dicari jalan ketiga untuk keluar dari dua kutub berbeda sebagai solusi. Tentu bukan sekadar solusi normatif, tetapi juga mencari turunan berupa metodologi terapi berikut dua kemungkinan hasil yaitu: berubah atau tetap memiliki kecenderungan berbeda.

Pada konteks ini ormas besar Islam seperti Nahdatul Ulama, Muhammdiyah, atau Mathla`ul Anwar ditantang menjadi pionir untuk memberi solusi melalui lembaga pendidikan modern, pesantren, maupun rumah sakit yang dimiliki tanpa terjebak memarjinalkan mereka.

Berikutnya, LGBT harus diperlakukan terhormat sama persis seperti manusia lain yang diciptakan setara di hadapan Allah SWT. Karena sejatinya, perasaan suka dalam diri manusia, baik kaum homoseksual maupun heteroseksual, berasal dari Tuhan YME. Manusia hanya dituntut mengelola perasaan tersebut agar tidak disalurkan ke hal-hal yang merugikan dirinya. Itu saja.






EmoticonEmoticon