Pressiwa.com- Batik adalah sebuah warisan budaya leluhur bangsa Indonesia yang sudah selayaknya kita jaga dan lestarikan dengan sepenuh hati. Kita juga harus memiliki rasa bangga karena hidup sebagai pewaris kebudayaan artistik ini.
Beberapa orang yang saking cintanya pada Batik, sampai ada yang mampu mengkaitkan kegiatan membatiknya dengan peribadatan. Membatik menjadi wujud dari aktivitas ibadah lain baginya. Membatik, adalah menjalin hubungan jiwa-raganya dengan Tuhan. Membatik adalah "wirid" lain selain melafalkan kalimah-thoyyibah di lisan dan kalbu. Membatik adalah "menemui" Tuhan.
Namun tak semua kalangan menjadikan Batik dan aktivitasnya (membatik) sedemikian tinggi dalam kehidupannya. Kita yang tidak atau belum mampu seperti itu, cukup memiliki pemaknaan yang rasional atas pertanyaan "kenapa kita harus mencintai Batik?"
Hari ini, saya sedang ingin menuliskan betapa Batik di kota saya begitu penting keberadaannya. Eksistensinya harus terus dijaga. Karena di sini, di kota saya, Pekalongan, Batik sudah "telanjur" menjadi komoditas ekonomi bagi kebanyakan warganya. Batik, menjadi sumber utama penghasilan banyak warga di Pekalongan.
Terbukti ketika permintaan pasar akan Batik menurun (dalam hitungan asal-asalan tapi diamini banyak kalangan, ini terjadi hampir setiap tahun pada bulan Rabi'ul Awwal-Jumadil Ula), maka banyak "pengangguran mendadak" yang dapat kita lihat curhatannya di grup-grup media sosial, utamanya Facebook.
Beberapa kalangan ini hidup dari eksistensi Batik. Banyak yang pekerjaannya bersentuhan langsung dengan Batik, mulai dari pembuatan Batik itu sendiri, hingga penjualannya. Dalam pembuatan Batik, prosesnya yang cukup panjang itu pun harus ditangani oleh banyak orang. Tak cukup satu orang untuk menghasilkan selembar kain Batik.
Ia harus melewati tangan-tangan kreatif para pembatik mulai dari membatik itu sendiri (proses pembatikan; membubuhkan lilin-malam pada kain), mewarnai dengan coletan, celupan, dan sebagainya, hingga melorod (proses pelepasan lilin-malam dari kain dengan menggunakan air mendidih).
Jika Batik akan dijadikan pakaian, kain yang sudah dibatik itu kemudian ditangani oleh para penjahit. Jumlah pekerja penjahit di Pekalongan ini juga terhitung banyak. Selain menjahit kain Batik, mereka juga kebanyakan menjahit jins (entah celana, rok dan lain-lain).
Dalam masa penjahitan, Batik juga melewati beberapa proses di tangan orang-orang. Kita tahu bahwa mesin jahit bukan hanya satu jenis saja untuk dapat menghasilkan pakaian. Butuh minimal 3 (tiga) jenis mesin untuk membuat baju siap pakai.
Yaitu, mesin jahit (untuk menjahit/menyatukan kain-kain yang telah dipotong sesuai pola; baju hem, kemeja, dress, blouse dan lain sebagainya), mesin obras, dan mesin lubang dan pasang kancing.
Jika kain Batik tadi sudah menjadi suatu jenis pakaian, maka selanjutnya ia mulai didistrubisakan ke pasar oleh pemiliknya atau para "reseller konvensional" yang kerap disebut Looper. Dipajang di galeri, dijadikan stok di toko-toko, dan seterusnya. Sampai di sinilah, Batik mulai cukup dapat kita lihat sebagai warisan budaya yang kompleks.
Bagaimana kita semestinya menjaga eksistensi Batik? Bagaimana cara kita agar Batik terus hidup dan mampu menghidupi kita yang terjun dalam industri bernilai kebudayaan ini? Cukupkah dengan "sekadar" menjadi reseller atau dropshipper pada para supplier, kita sudah ikut melestarikan budaya ini?
Saya memilih "reseller atau dropshipper" di sini, karena beberapa kalangan pemuda dan pemudi di Pekalongan pada hari-hari ini banyak sekali yang gemar menekuni "jual-beli online" produk Batik. Pemuda-pemudi yang menjadi reseller dan/atau dropshipper itu, bisa jadi tak banyak atau belum tahu mengenai bagaimana proses sebuah kain Batik sehingga mampu ditawarkan pada calon pembeli mereka.
Lebih jauh lagi, yang benar-benar mengenal jenis kain yang dipakai untuk membuat Batik pun juga barangkali masih sedikit di antara pemuda-pemudi itu. Lebih jauh lagi? Sedikit di antara mereka yang tahu-menahu perbedaan pewarna ini-itu dalam pewarnaan Batik yang mereka promosikan.
Di sini, saya berniat mengajak mereka para pemuda dan pemudi itu, kita semua, untuk kembali pada
"Khittah Batik". Maaf, saya menggunakan istilah ini karena melihat begitu banyaknya pemuda-pemudi berseliweran metentang-metenteng yang telah sukses berbisnis online dengan menjual Batik ini, ketika saya ajak ngobrol perihal, semisal, jenis pewarna apa yang dipakai dalam Batik yang mereka jual (yang mereka dapatkan dari supplier) itu?
Kebanyakan mereka tak mejawab dengan jelas. Malah beberapa ada yang benar-benar tak tahu dan cukup bangga dengan jawaban, "sing penting daganganku laku, aku untung, supplier untung, pembeliku seneng, wis cukup."
Tentu hal demikian sah-sah saja. Dan bisa saja kita anggap tak ada masalah sedikit pun dalam kasus seperti ini. Namun, saya juga ingin menekankan bahwa dalam proses menciptakan Batik, ada suatu hal yang paling sering luput dari perhatian orang-orang, terutama mereka pemuda-pemudi reseller dan dropshipper itu. Yaitu; Batik juga menghasilkan limbah.
Jika kalian yang membaca tulisan ini seringkali bertemu, karena barangkali sudah menjadi pelanggan, dengan penjual Batik dari Pekalongan, cobalah untuk tidak bertanya "apa motif terbaru?" Tapi tanyakan sekali saja, "Kemana limbah Batik ini dibuang dan apa dampaknya bagi orang-orang?"
Kalau ingin lebih serius, tanyakan pula hal itu kepada pemerintah lewat dinas-dinas yang terkait.
Ya, kita belum selesai. Urusan Batik di Pekalongan belum selesai meski ia telah melewati proses pembatikan, penjahitan, hingga ditangani para marketer-online itu. Belum. Masih jauh. Karena selain limbah, ada juga kuli-kuli pekerja dalam industri ini, yang hak-haknya tak pernah disuarakan dengan lantang layaknya hak-hak kaum buruh pabrik.
Wah, kita akan semakin berpanjang lebar kalau mau membicarakan hal ini. Karena pada kenyataannya memang demikian, ketika para buruh pabrik (yang barangkali kapitalis) itu diberhentikan dari pekerjaannya atau "sekadar" upahnya ingin dinaikkan, agen perubahan sosial alias para mahasiswa beserta komunitas-komunitas serikat buruh sibuk mengatur rencana demonstrasi.
Tapi, sekali pun tak pernah ada kegiatan memperjuangkan "sekadar" penaikan upah para kuli. Apa sebabnya? Karena kuli dalam industri rumahan tak memiliki keterikatan dengan aturan-aturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan?. Kenapa tiada keterikatan? Embuh.
EmoticonEmoticon