Selasa, 05 Desember 2017

Negeri, Puisi Kegundahan Nasip Indonesia

Tags


Aku masih meminjam pilu
dari air mata Dewa-Dewi
di samudra seberang.
Rantai-rantai kepercayaan saling
mengaitkan diri pada leher mereka.
Aku melihat sayat-sayat,
koyak-koyak kebajikan di dalam
lautan bebal
menyanyi riang di
persembunyiannya.

Mulut dan dubur saling berganti kedudukan,
di mana kentut-kentut kehijauan saling berbagi bahagia dan
mengalun bagai simfoni masa depan.
Di sisi lain,
nyala lilin-lilin malam
meninggi
terbang
menembus matahari di kolong nurani
menjemput belaian tangan Tuhan.

Sementara,
tuan pemimpin negeri menopang jantungnya
di atas paku-paku cakrawala
sambil menjahit beludru bolong yang
basah oleh liur-liur yang
merangkak melewati ketiak.

Aku mendengar kanak-kanak bertanya
tentang bunga bangkai dan bunga mawar yang tumbuh lebat di kepala mereka.
Pada matanya
tersimpan ludah-ludah kebencian yang dengan sengaja
diselipkan secara membabibuta,
yang pasang menumpahi segala.

Sumpah serapah kanak-kanak melayang di antara
ibadah dan doa-doa.

Aku tidak akan bertanya tentang
kemurnian-kemurnian pada jiwa kanak-kanak yang
dijejali sampah-sampah dan riak-riak
dari kerongkongan bapaknya!
Aku tidak akan bertanya
gemuruh ajaran sang buta
Aku tidak akan bertanya
Aku tidak akan bertanya.

Kutimang lelaki tua tujuh puluh dua tahun
yang tengah sekarat ini.
Lihatlah!
Tulangnya mulai mencair,
terhisap sari-sarinya,
walau kemaluannya belum juga impoten!
Kusiapkan selembar daun pisang
walau darahnya telah terhisap habis oleh
bulan purnama.




EmoticonEmoticon