Bagi yang tidak familiar dengan kajian Yahudi, mereka akan menganggap Yahudi itu sebuah "komunitas tunggal" dan seragam yang memiliki pemikiran, sikap politik, dan praktik ritual-keagamaan yang sama. Padahal kenyataannya tidak.
Sebagaimana kelompok etnik-agama lain di muka bumi ini, komunitas Yahudi juga bermacam-macam jenisnya. Sangat majemuk dan kompleks: asal-usulnya, alirannya, sektenya, bahasanya, ritualnya, tata busananya, struktur keagamaannya, ormasnya, visi politiknya, tradisi dan kebudayaanya, dlsb.
Bagi yang tidak familiar, mungkin akan mengira kalau foto di bawah ini (courtesy: wikimedia commons) adalah komunitas Muslim Arab di Afrika atau Timur Tengah. Padahal, mereka adalah komunitas Yahudi. Ya Yahudi Etiopia itu. Mereka adalah para Kessim (sebutan komunitas Yahudi Etiopia untuk "rabbi" atau "pendeta/klerik/kiai Yahudi) yang tinggal di Israel.
Selain menyebut "kessim" untuk "rabbi", komunitas Yahudi Etiopia ini juga menyebut "Orit" untuk Taurat (Torah) yang mungkin berasal dari Bahasa Aram untuk Taurat: "Oraita". Dalam komunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Ibrani, Amharik, dan Tigrinya.
Tidak semua komunitas "Yahudi mainstream" seperti Yahudi Sephardi atau Yahudi Ashkenazi mengakui eksistensi komunitas Yahudi Etiopia ini karena dianggap "menyimpang" dari kanon resmi Yahudi. Baru belakangan saja mereka mengakuinya.
Komunitas Yahudi Etiopia ini populer atau dikenal dengan sebutan "Beta Israel". Kalimat ini maksudnya bukan "orang-orang Ambon/Maluku di Israel" melainkan "Rumah Israel" yang konon komunitas ini sudah ada di Etiopia yang dulu bernama Abyssinia selama 15 abad lebih.
Tidak banyak buku atau tulisan yang mengungkap eksistensi komunitas ini. Tetapi Joseph Halevy, seorang Yahudi Perancis pernah mengunjungi komunitas ini di Etiopia pada tahun 1867 dan menulis laporan yang cukup menarik tentang sejarah dan aspek-aspek ritual-keagamaan Beta Israel ini. Usahanya itu kelak dilanjutkan oleh muridnya, Jaques Faitlovitch.
Menurut Halevy, karena Beta Israel hidup terisolir dari komunitas "Yahudi mainstream", maka mereka menciptakan dan mengembangkan literatur dan doa-doa ibadah sendiri serta mempraktikkan pandangan dan praktik keagamaan yang unik dan beda dengan komunitas Yahudi kebanyakan. Mereka juga mengadopsi hukum-hukum "kesucian ritual" khususnya yang berkaitan dengan menstruasi, kelahiran dan kematian.
Sebagai komunitas agama minoritas di Etiopia, Beta Israel mengalami sejarah yang berliku-liku. Adakalanya hidup damai dan tenang. Tetapi tidak sedikit mereka mengalami penderitaan lahir-batin dimusuhi oleh rezim dan komunitas non-Yahudi, baik Muslim, Kristen maupun "pribumi Etiopia" yang menganggap mereka sebagai "falasha" ("orang asing" atau "nonpri").
Karena menghindari pengucilan dan kekerasan dari berbagai komunitas non-Yahudi itulah, sebagian mereka migrasi atau melarikan diri ke "tanah yang dijanjikan" (Israel) sejak abad ke-19. Kelak, pemerintah Israel menyeponsori migrasi (disebut "aliyah") Yahudi Etiopia ke Israel. Upaya ini bagian dari "Operasi Moses" (1984) dan "Operasi Solomon" (1991), yaitu gerakan "pemboyongan" warga Yahudi diaspora ke "Negeri Israel".
Kini, konon jumlah komunitas Yahudi Etiopia di Israel mencapai 125.000. Meskipun mereka mengaku sebagai bagian dari komunitas Yahudi, tetapi bukan berarti komunitas Yahudi mainstrem serta merta menerima eksistensi mereka. Baru pada 1970an saja, sejumlah kelompok Yahudi mengakui Beta Israel yang dianggap sebagai anak-cucu atau ketururan Suku Dan, salah satu dari sepuluh suku Yahudi-Israel yang diyakini "hilang" sejak penaklukkan Kerajaan Assyria atas Kerajaan Israel di abad ke-8 SM. Jadi tidak bisa kita menggebyah uyah, bahwa Yahudi itu sudah pasti beragama Yahudi.
EmoticonEmoticon