Pressiwa.com - Katanya, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Benarkah? Lupa memang sesuatu yang manusiawi, tapi bagaimana dengan salah? Pada kenyataannya, banyak manusia yang melimpahkan kesalahannya kepada setan, sehingga kesalahan bukan merupakan sesuatu yang manusiawi, tapi setaniah. Ada orang meluapkan amarah dengan mengamuk, menghancurkan segala hal yang ada di sekitarnya sampai merobohkan tower BTS *wow!!* dan orang itu disebut ‘kesetanan’.
Ada seorang pelaku perkosaan tercyduk, begitu ditanya kenapa dia memperkosa, jawabannya “Saya terbujuk oleh rayuan setan”. Ada seorang perempuan yang tadinya berhijab, kemudian dia melepas hijabnya, dan orang-orang menghakiminya dengan mengatakan “Kamu telah terkena hasutan setan!”. Pokoknya semua yang dianggap salah adalah perbuatan setan, yang buruk-buruk diklaim sebagai setan.
Di dalam ajaran beberapa agama dan menurut orang-orang yang mempercayainya, setan adalah musuh manusia, penentang Tuhan. Dulu, ketika saya masih kecil dan mendengar kisah Adam dan Hawa, saya bertanya dalam hati, “Kenapa Tuhan membiarkan setan membujuk Hawa? Waktu setan menyelinap ke surga, Tuhan sedang apa?”, itu pertanyaan seorang anak yang membayangkan setan dalam wujud seperti manusia, hanya saja dilengkapi fitur ekor, sepasang gading dan tanduk.
Ya namanya juga anak-anak, perlu sesuatu yang konkret dalam hal pemahaman, jadi tidak apa-apa kan, kalau seorang anak membayangkan wujud setan sebagai seonggok daging atau sekepul asap? Seiring bertambahnya usia, anak itu (mungkin anak-anak lain juga) mulai mengubah pandangannya tentang setan, atau lebih tepatnya pikirannya terpengaruh oleh lingkungan yang mengatakan bahwa setan adalah sifat buruk yang melekat pada diri manusia. Benarkah? Kalau memang iya, lalu kenapa ketika manusia lalai atau melakukan hal buruk, mereka masih menyalahkan setan? Malas sembahyang, alasannya “Setannya masih nempel”, mencuri uang teman se-kost-an, alasannya “Terbujuk rayuan setan”.
Kalau memang setan itu sifat buruk dalam diri manusia, harusnya manusia menyalahkan dirinya sendiri atas kesalahan yang telah diperbuat, bukan malah menyalahkan setan. Bagi saya pribadi, setan bukanlah musuh manusia, karena musuh manusia adalah manusia itu sendiri.
Teman-teman yang budiman, dan budiwoman, tidakkah kita menyadari bahwa setan merupakan bagian dari propaganda? Pikiran manusia telah didikte untuk percaya bahwa perbuatan buruk adalah perbuatan setan, sehingga manusia sulit untuk mengakui kesalahannya ketika mereka berbuat buruk, mengingkari rasa bersalah, lalu melimpahkannya pada sosok tak terlihat yang kita sebut ‘setan’. Orang-orang yang menganggap bahwa setan adalah musuh terbesar manusia, jika mereka menyalahkan setan atas perbuatan buruk yang telah diperbuat diri sendiri, mengklaim bahwa setanlah yang membujuk manusia untuk melakukannya, secara tidak langsung mereka menunjukkan bahwa mereka adalah pengecut.
Ya, mengingkari kesalahan sendiri dan melimpahkannya ke pihak lain, bukankah itu tindakan seorang pengecut? Dan kemudian berlindung di bawah nama setan yang mereka anggap sebagai musuh. Itu aneh. Berhentilah menyalahkan setan! Akan jauh lebih baik jika kita sebagai manusia mau mengakui kesalahan sendiri ketika berbuat salah.
Belajar untuk lebih berhati-hati dalam bertindak, bukan meminta perlindungan agar dijauhkan dari godaan setan, tapi berusaha mengendalikan diri ketika menghadapi berbagai godaan. Belajar bertanggungjawab atas perbuatan diri sendiri, bukan mengelak darinya.
Kita adalah manusia, makhluk bumi yang berdiri sendiri, bukan gabungan dari malaikat dan setan. Baik dan buruknya perbuatan kita adalah kita yang menentukannya sendiri, bukan malaikat atau pun setan. Salam.
EmoticonEmoticon