Rabu, 29 November 2017

Sosok Representatif Kiai Farid yang Berbudaya

Tags


Pressiwa.com - Di antara para kiai yang pernah menjadi guruku dulu, Kiai Farid tergolong cukup unik cara mengajarnya. Tidak seperti kiai-kiai lain yang biasanya mengajar setiap pagi habis salat subuh, sore atau petang, Kiai Farid (kini almarhum) memilih dini hari sebelum salat subuh sebagai waktu mengajar.

Saya mengaji dengan beliau dulu di Pekalongan setiap dini hari. Sekitar jam 3 pagi baru dimulai mengaji. Santri yang ikut mengaji di "sesi" ini hanya segelintir saja, termasuk anaknya sendiri. Kitab yang dibahas adalah kitab-kitab nahwu atau tata bahasa Arab, khususnya Kitab Alfiyah Ibnu 'Aqil yang tergolong rumit.

Meskipun di pagi buta dan masih setengah mengantuk, Kiai Farid yang konon alumnus Pesantren Gontor, Tebuireng dan Denanyar ini mampu membuat suasana menjadi semangat karena suaranya yang keras dan menggelegar kalau mengaji, menerangkan dan membaca kitab.
Maklum, selain guru dan kiai, beliau juga seorang dai yang cukup populer di daerah Pekalongan dan sekitarnya.

Jam terbang ceramahnya cukup padat yang membuat saya terkadang cukup kasihan dengan beliau. Betapa tidak, karena sibuk mengisi pengajian, beliau sering pulang rumah larut malam. Sudah begitu harus mengajar jam 3-an lagi. Saya sering membayangkan: jam berapa atau berapa jam Kiai Farid tidur?

Selain penceramah, Kiai Farid juga "khotib idolaku". Saya suka sekali kalau beliau menjadi khotib salat Jumat. Khotbahnya singkat dan padat dan berapi-api seperti Bung Karno. Ia selalu menulis sendiri khotbah-khotbahnya. Kata pengantar khotbahnya juga cukup khas dan unik, beda dengan para "khotib konvensional". Isi khotbahnya biasanya tentang pesan-pesan moral-kemanusiaan.
Saya pernah tanya ke beliau: "Kiai, kenapa khotbah-khotbah Anda sangat singkat?" Jawab beliau: "Khotbah itu memang harus singkat, salat Jumatnya yang mestinya agak lama".

Bukan hanya suara dan dedikasinya saja yang membuat saya terpikat dengan beliau, tapi juga kesahajaannya. Beliau orang yang sangat sederhana. Rumahnya kecil-mungil tak berkeramik, bertembok lusuh dan berhimpitan dengan mushala dan tempat mengaji.
Kendaraan sehari-harinya memang "BMW" tapi bukan sedan melainkan sepeda motor "Bebek Merah Warnanya" yang bunyinya sangat khas etek etek etek he he.

Hal lain yang membuatku kagum dengan beliau adalah kesuksesannya dalam mendidik anak-anaknya. Anak-anaknya sangat cerdas dan "berotak Habibie" yang dua di antaranya sekolah di Jepang, kalau nggak salah studi di bidang nuklir dan pesawat terbang. Nilai ujian SMA anak-anaknya nyaris sempurna, dan karena itu mendapat penawaran beasiswa dari berbagai kampus top di Indonesia, meskipun akhirnya mereka memilih Jepang sebagai tempat untuk belajar.
Mungkin saja Kiai Farid membiarkan dirinya hidup sederhana yang penting anak-anaknya sukses dalam berkarir dan menuntut ilmu.

Kiai Farid adalah contoh kecil dari beribu-ribu "kiai kampung" yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia: sosok kiai yang sangat dalam ilmu dan wawasan keislamannya tetapi tulus-ikhlas pengabdiannya serta lebih memilih hidup bersahaja ketimbang menjadi "budak harta".
Sosok Kiai Farid ini sangat kontras dengan sejumlah "dai seleb" masa kini yang ilmu dan wawasan keislamannya pas-pasan bahkan ada yang nyaris tak ada ilmunya tetapi menjadi populer di tipi-tipi dan kaya raya hanya karena kelucuannya, kenyentrikannya, keartisannya, kekonyolannya, kerasisannya, kegalakannya, dan seterusnya.

Herannya, banyak orang yang mengikuti bualan-bualan mereka dan bahkan menyebut mereka dengan sebutan "ulama". Sementara yang kiai dan ulama beneran malah dikafir-sesatkan, dibodoh-bodohkan, di-PKI-kan dan seterusnya.


EmoticonEmoticon