Minggu, 12 November 2017

Persoalan Perjilbaban, yang Penting Sopan.

Tags


Pressiwa.com - Supaya cara pandangmu mengenai perjilbapan bisa lebih selow dalam memaknainya. Ada perlunya kita memposisikan hijab  sebagai ajaran Islam yang memiliki wacana dan perspektif luas. Kita bisa melihat dasar-dasar perjilbaban dalam  ilmu ushulul-fiqh (filsafat hukum Islam) lalu kemudian dikembangkan. Berikut saya uraikan teknis penjelasanya, serta kerangka bagaimana jilbab itu kemudian digunakan. Untuk menghindari  gaya bahasa yang “ndakik”. Saya mulai saja dengan kerangka sederhana.

Dalam kajian keislaman (Islamic Studies), para fuqaha membagai Hukum fikih menjadi dua. Pertama, hukum yang tak mempunyai alasan rasional (ta’abbudiy). Serta kedua, hukum memiliki alasan rasional (ma’qulatul-ma’na). Jika kurang familiar dengan istilah ini masyarakat Sunda memiliki istilah lain yaitu “kaasup di akal” (rasional) dan “Ayeuna damel moal aya rasa.” (tidak rasional). Jika kurang familiar lagi dengan istilah ini, coba tanyakan “Kang Asep” hehe.

Dalam ilmu ushulul fikih, kita bisa menjumpai ada banyak beragam istilah, tapi intinya sama. Istilah teknis untuk sesuatu yang bisa dirasionalkan untuk menjadi ketentuan suatu hukum ialah ‘illah (istilah gahulnya: ratio logis).

Secara umum, hukum fikih yang didasari untuk keperluan ritual ibadah (vertikal) bersifat "ta’abbudiy", tidak memiliki alasan rasional. Tidak memiliki alasan rasional kenapa pada saat kentut lalu wudu kita batal kemudian yang dibasuh bukan pantat.

Juga tidak memiliki alasan rasional mengapa setelah “kikuk” seorang Muslim harus mandi junub baru kemudian baru sah salat nya. Kita sedang tidak bicara tentang Islam saja. Sepanjang itu menyangkut ritual ibadah (vertikal), agama-agama lain juga tidak memberikan alasan rasional.

Adapun ushulul fikih untuk hal-hal yang berkenaan dengan hubungan sesama manunusia (mu’amalah) dan non-ritual, akan bersifat ma’qulatul-ma’na, memiliki dasar rasional. Misalnya, Riba diharamkan, karena dalam transaksi ekonomi ada pihak-pihak yang dirugikan. Khamr diharamkan karena dapat memabukan dan hilangnya akal. Hal-hal yang membahayakan manusia (istilah kerennya: melanggar harm principle), seperti mencuri, membunuh, dlsb.

Apa pentingnya pembagian hukum ini?
Banyak Sarjana Islam berpendapat, pembagian ini berfungsi untuk mengurai mana hukum yang memiliki alasan rasional sehingga ia dapat menjadi bahan analogi atau qiyas dengan hukum lainya dan bisa disertakan dalam ketentuan fikih yang berbunyi “hukum bergantung pada ‘illah ( masalah) dan ketika ‘illah-nya hilang maka hilang pula hukumnya”.

Contoh-contoh yang saya paparkan di atas merupakan contoh yang tidak menimbulkan kegaduhan. Ada kasus yang berada dalam kategori “buram”, yang tidak mudah ditentukan masuk dalam kategori hukum-hukum fikih yang mana, terutama pada ayat-ayat suci yang bersifat dzani (bias interpretasi). Dibagian inilah biasanya teejadi tindakan saling sesat-menyesatkan, dan “pengkopar-kapiran” dengan satu yang lainya.

Untuk mengurai masalah ini. Kita perlu mengetahui bahwa segala sudut pandang pemikiran dan mazhab Islam secara sederhana dapat ditaruh dalam spektrum berdasarkan pada pembagian: antara yang ekstrem tekstual (yang tidak sama sekali mempertanyakan dasar rasional hukum) atau tekstualis ,dan yang ekstrem rasional (yang tidak percaya suatu hukum jika tidak bisa dibuktikan secara ilmiah) atau rasionalis.

Diantara contoh persoalan dalam kategori buram dan ringan misalnya “apakah beras yang dipakai untuk membayar zakat fitrah bisa dirasionalisasi sehingga bisa diganti dengan uang ?” (dengan alasan: uang bisa digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lain yang lebih luas dan sesuai kebutuhan penerima zakat, dan karena penerima zakat tidak butuh makanan pokok).

Contoh sedang: Mungkinkah najis dari jilatan anjing bisa disucikan pakai sabun, bukan pakai tujuh basuhan yang salah satunya pakai tanah liat seperti dinyatakan dalam hadis (dengan alasan: yang penting bersih)?.

Contoh yang berat: kasus hijab termasuk berat, karena orang yang ingin menawar hukum hijab harus siap mentalnya menghadapi cacian dari sebagian Muslim yang mudah “kelojotan”. Figur sebesar dan ulama karismatik, Prof. Quraish Shihab saja kena dampaknya, apalagi kalau orangnya cuma seperti saya, yang ilmunya tak seberapa.

Memang sulit menolak bahwa yang mendominasi wacana keislaman saat ini, ialah yang mencondong pada kubu tekstualis, sekurangnya-kurangnya di level wacana. Dikalangan yang ekstrem tekstual tampaknya ada semacam kesepakatan tak tertulis: semakin tekstual seseorang, semakin Islam dirinya). Inilah penyebabnya orang yang pintar mengutip ayat lebih mudah dipercayai, daripada metode hermeneutika yang mengedepankan pendekatan teori-teori sosial.

Tetapi ada yang lebih berat dari masalah Hijab tapi justru banyak negara berpenduduk Muslim tidak mempraktekanya, di Al-Quran terdapat ketentuan hukum potong tangan bagi pencuri dan seratus cambukan bagi pezina, serta ketentuan hukum ini dinyatakan secara eksplisit (lebih eksplisit dari ayat tentang hijab). Tapi, mayoritas negara-negara berpenduduk Muslim hari ini tidak menerapkannya.

Dalam perkara hijab, muncul wacana yang lebih ketat: selain harus menutupi seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan muka, hijabnya harus lebar, menutupi dada, tidak menonjolkan lekuk tubuh, dan seterusnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, para Muslimah (bahkan mungkin mayoritas Muslimah) melakukan “penawaran”.

Anda tahu, pakaian juga merupakan soal produk budaya( cultur product) yang meliputi penampilan, gaya, selera, dan mungkin juga kecenderungan pemakainya sendiri yang hendak bersolek serta ingin terlihat cantik. Kemunculan fenomena “jilboobs” adalah hasil dari “penawaran” itu.

Lebih penting hingga tataran tertentu, hijab juga terkait dengan “diskursus” yang bersifat relatif-terbatas terhadap konteks zamannya. Contohnya, Andapun tahu, dulu sebelum tahun 80-an ibu-ibu di Muslimat NU, juga para istri kiai, biasanya tidak memakai kerudung yang dalam standar wacana kontemporer bisa disebut “hijab syar’i”, karena sebagian rambut dan leher masih tampak. Hanya semacam selendang yang pakaikan di kepala.

Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia saja. Beberapa hari lalu saya bikin status di FB dan memperlihatkan bahwa Durrusehvar Sultan, putri dari khalifah Utsmani terakhir, Abdulmecid II, tidak mengenakan hijab. Para mahasiswi yang masuk jurusan Dirasah Islamiyyah di Kulliyyatul-Banat Al-Azhar, Mesir, pada tahun 1950-an juga tak berhijab. Pada kisaran tahun ini pula, putri dari pemimpin tertinggi (Mursyid ‘Aam) Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin tidak berhijab. Sebagaimana yang diceritakan presiden Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser.

Istilah yang dipakai Presiden Nasser pada waktu itu pun bukan “hijab”, melainkan “tharhah”, yang berarti selendang/kerudung. Saya meduga keras yang terjadi di Mesir tentang perkembangan terhadap tafsir hijab, sama saja dengan di Indonesia. Terdapat evolusi nama: dari sekadar “kerudung”, lalu “jilbab”, kemudian berganti “hijab”, dan belakangan menjadi “hijab syar’i”. Walah, tambah bingung.

Dengan perspektif tentang diskursus, diantara hal yang dapat diambil dari fenomena ini adalah : Sebelum tahun 1980, hijab belum menjadi bagian dari wacana dominan, wacana yang turut mengonstruksi “identitas keislaman” dalam pengertiannya yang kaku, sebagaimana terjadi kini.

Diantara dampak konstruksi identitas keislaman yang demikian ialah hijab menjadi standar (bahkan standar mutlak) untuk menilai seorang muslimah: kalau tak pakai hijab, berarti “kurang Sholehah”. Dampak sampingannya berujung pada gombalan para cowok: “Kamu makin cantik deh kalau pakai hijab”. Yang menyiratkan makna bahwa memakai hijab adalah ciri Muslimah yang “patuh”, serta berpotensi untuk menjadi istri yang berbakti pada suaminya.

Jadi, masuk ke pertanyaan kuncinya: apakah hukum hijab termasuk yang ta’abbudiy alias tidak punya alasan rasional, atau yang ma’qulatul-ma’na alias bisa dirasionalisasi?
Paling tidak dua pertanyaan bisa menjadi pintu pembuka. Kalau hijab berfungsi untuk menggunting syahwat lelaki ketika melihat “body mlenuk” perempuan.

Pertanyaa pertama, “sebagaimana diterangkan dalam literatur fikih, aurat budak perempuan adalah sama dengan laki-laki (dari pusar sampai lutut; atau dengan kata lain, payudaranya tidak termasuk aura. Apakah budak perempuan tidak membangkitkan syahwat? Maksud implisit dari pertanyaan nakal ini: “jangan-jangan pada sejarahnya hijab berfungsi sebagai pembeda status sosial antara perempuan merdeka dan budak.”

Kedua, mengapa rambut perempuan dianggap aurat? (Aurat awrah) sebagaimana pengertian leksikalnya, ialah sesuatu yang tak pantas diperlihatkan (ma yastaqbihu an-nazharu ilayhi). Masak lihat rambut saja dapat membangkitkan “napsong” ? Bukankah jika dibandingkan dengan rambut, wajah jauh lebih menarik? Bukankah kalau dari sononya sudah cantik, pakai hijab atau tidak pun tetap menarik? Kalau begitu, mengapa wajah tak termasuk aurat?

Pertanyaan-pertanyaan ini, Anda perlu mengetahui, adalah pertanyaan yang bisa bikin sebagian Muslim marah. Sekadar menanyakan saja bisa dianggap kurang ajar.

Kalau pembaca Pressiwa yang selow tidak mau “gontok-gontokan”, ya sudah, tidak usah bertanya. Ikuti saja pandangan bahwa hijab bukan termasuk hukum yang bisa dirasionalkan, lalu cukup laksanakan ungkapan “kami dengar, kami taati”. Insya Allah semua akan aman.

Atau Anda cukup berpakaian sopan, memakai baju yang sesuai dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah agar bisa dihormati. Tinggal pilih.



EmoticonEmoticon