Kamis, 16 November 2017

Komunisme Tidak Anti Pancasila dan Agama.

Tags


Setelah saya mempelajari jurnal yang berjudul Suatu Kajian Filsafat Matrealisme karya Fuadi yang kemudian di publikasikan di UIN Ar-Raniry. Saya mendapat pandangan baru bahwa filsafat Historis dan Matrealisme merupakan pemicu dari munculnya banyak aliran Marxisme yang banyak berkembang belakangan ini.

Filsafat Marxis memang tidaklah monolitik, dan absolut dalam perkembangannya. Tapi ia mengalami modifikasi setelah mengalami pergumulan panjang dari tokoh-tokoh yang melanjutkan perjuangan Marxis. Maka munculah berbagai “mashab Marxis (demikian saya menyebutnya) seperti Marxis-Leninisme, Marxsis-Hegel, Marx-Bakunin, dan masih banyak lagi.

Dalam jurnal berjudul Suatu Kajian Filsafat Matrealisme karya Fuadi . Jurnal tersebut menggambarkan perkembangan kemunculan gagasan Marxis ketika Inggris sedang moncernya melakukan Revolusi Industri.

Fuadi memaparkan bahwa Karl Max mengkritik kelas sosial yang muncul setelah gerakan Revolusi Industri Inggris yang menimbulkan penindasan kaum proleter (buruh). Fuadi juga menjelaskan perkembangan Marxis pada awal kemunculanya yaitu komunisme purba (masyarakat komunal) hingga kemunculan komunisme, sebagai antitesa dari sistem kapitalisme.


Saya mendapatkan konkluksi baru dari pengamatan saya setelah membaca jurnal ini. Konkluksi baru tersebut yaitu bahwa filsafat Marxis adalah suatu filsafat yang mencoba menghadirkan pandangan baru bagi tatanan masyarakat yang memihak pada kaum proletariat (buruh). Filasafat Marxis merupakan suatu antitesa dari sistem kapitalisme yang memungkinkan terjadinya penghisapan manusia satu dengan manusia lainya.


Filsafat Marxisme juga merupakan suatu filsafat yang mengharapkan pergerakan revolusioner kaum buruh dari kemandulan kaum agamawan. Inilah mengapa di negara-negara yang mengadopsi paham dari Marxis terutama komunisme. Melakukan pemisahan antara urusan agama dan politik ( sekulerisme).

Karena menurut pandangan Marxisme bahwa kaum agamawan yang dijumpainyai ketika itu banyak terjebak dalam kubangan fatalisme, yaitu suatu pemahaman bahwa nasib seseorang sudah ditakdirkan. Sifat menyerah kepada takdir, atau lari menghadapi masalah keduniawian kemudian  yang menjadi kritikan Marx. Bahwa agama tak pernah memainkan peran revolusioner, melainkan agama adalah sebuah candu yang memabukan “religion of cocain.”

Pandangan Marx tentang agama bahwa ia tak pernah memainkan peran revolusioner saya kurang setuju. Justru banyak agama Samawi kala itu menghadirkan sebuah doktrin maupun ajaran yang sifatnya menentang kapitalisme. Nabi Muhammad dalam misi profetiknya  sangat tegas mengharamkan riba. Dimana riba adalah potret penghisapan manusia atas manusia lainya yang tidak berkeadilan.

Islam juga melarang perbudakan dari tindakan dispotisme para penguasa. Dimana ketika itu seorang bernama Bilal diselamatkan nabi, karena disiksa oleh majikanya Abu Jahal. Hal ini sesuai dengan pandangan Marxisme, bahwa tenaga kaum buruh harus sesuai dengan tenaga yang ia sumbangkan.

Dalam teologi kekristenan juga tak jauh berbeda, Yesus Kritus rela disalib juga karena membela masyarakatnya yang ditindas oleh kaum borjuis. Inilah kemudian yang membuat suatu doktrin, bahwa umat Kristen tidak boleh miskin.

Agama dan Komunisme sebetulnya tak jauh berbeda dengan misi keduanya yang diusung, inilah kemudian yang membuat tokoh agamawan seperti Cokro Aminoto, maupun Haji Misbah tertarik dengan Komunisme. Walaupun tidak mengambil secara mentah, atau menelan bulat-bulat pemikiran Marx. Demikian juga Soekarno yang sangat mengidolakan pemikiran Marxis.

Bahkan Marhaenisme yang ia pakai dalam membangun Partai Politik Marhaen, adalah hasil perkawinanya dengan pemikiran Marxis. Gampangnya, marhaenisme adalah Marxis yang dicocokan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Demikian seperti dikutip dalam buku Soekarno, Islamisme, Marximisme, dan Nasionalisme.

Sementara Tan Malaka dalam menangkap pemikiran Marx menghasilkan sejumlah pemikiran baru. Malaka menganggap bahwa untuk tercapainya keadilan sosial, maka bumi, air, dan udara harus dikuasai oleh pemerintah. Tidak boleh dikuasai oleh elit borjuis.  Demikian seperti dikutip dalam buku Nar Der Indonesia Republik, Tan Malaka.

Pemikiran Tan Malaka bagi saya cukup brilian, dimana kelemahan kapitalisme yang membuat kaum buruh tak berdaya dihisap oleh kaum borjuis, disebapkan karena akses kepemilikan modal yang bersifat bebas. Maka siapa yang memiliki kekuatan modal dialah yang akan memiliki sumber-sumber produksi, sementara yang kalah akan terus miskin karena terperangkap menjadi budak majikanya.

Supaya kaum proletariat dapat menjungkalkan para kapitalis, Marx berpendapat perlu diberlakukan suatu gerakan revolusi untuk mengkudeta para kapitalis. Pemikiran ini saya kurang setuju, karena suatu pergerakan seharusnya dilakukan secara soft, bukan dengan jalan makar yang justru malah membuat kaum buruh mendapat stigma sebagai musuh negara (pembrontak). Pandangan Marx tentang pergerakan revolusi kemudian diteruskan oleh Lenin. Namun pemikiran lenin supaya buruh dapat berkuasa sedikit berbeda dengan Marx.

Lenin memiliki pandangan bahwa supaya buruh dapat berkuasa, dan melanggengkan kekuasaanya, perlu dibentuk sebuah sistem kepartaian. Sistem kepartaian ini nantinya yang akan menggerakan “masa aksi” buruh untuk menghalang oposisi dari sayap kanan.

Sementara Bakunin mempunyai pandangan berbeda tentang filsafat matrealisme, bahwa matrealisme itulah sebetulnya sumber kekacaun dan kemlaratan kaum buruh. Bakunin menganggap bahwa negara justru merupakan suatu entitas yang melanggengkan praktik kapitalisme itu sendiri, seperti membayar pajak, adanya batas demarkasi yang membuat seseorang susah untuk memasuki negara lain, dlsb. Bakunin kemudian melahirkan mazhab baru Marxisme yang kita kenal sebagai anarchisme.

Sebetulnya tradisi berpikir Marxisme itu sebuah hal yang lumrah ditemui di Indonesia sebelum merdeka, tentu sebelum diberlakukanya Tap MPRS tahun 1965 oleh Orde Baru. Seperti mana kita ketahui para pendiri bangsa ini yaitu Soekarno, Semaun, Cokro Aminoto adalah tokoh Marxis.

Politik pergerakan kemerdekaan Indonesia dikomandoi oleh kaum kiri dan proletariat. Demikian seperti dikutip dalam buku Pengantar Ilmu Politik, Climer. Menurut pandangan saya Climer tidak salah, karena memang kaum kiri (pengidola Marxsis) yang paling sadar bahwa Nusantara telah menjadi sapi perah kaum kapitalisme Hindia Belanda. Bahkan Pancasila terutama sila ke kelima merupakan bagian dari sublimasi pemikiran Marxis.

Sementara Fuadi dalam jurnalnya menggambarkan bahwa tradisi Marxisme kala itu merupakan sebuah kebudayaan yang lazim ditemui Indonesia. Jadi jika ada orang yang menganggap bahwa orang-orang Marxis baik yang komunis maupun sosialis tidak punya peran besar dalam pendirian negeri ini adalah keliru besar. Bahkan Pancasila sejatinya adalah berisi ide-ide komunis yang mengharapkan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Pada akhirnya Marxisme yang merupakan antitesa dari sistem kapitalisme memiliki kelebihan dan kekurangan disana-sini. Dengan demikian perlu adanya upaya rekonstruksi pemikiran Marxisme agar sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia.



EmoticonEmoticon