Ada sebuah kajian keagamaan menarik dibeberapa kampus berbasis Islam di Indonesia, kajian tersebut berupa mata kuliah Islam dan Budaya Jawa.
Dulu, saya pernah selama enam bulan mengikuti kajian mata kuliah ini. Setelah mengkaji secara santai layaknya di pantai, saya lalu menangkap kesan dan pesan mendalam terhadap entitas “kebudayaan” dan “Islam”.
Seperti kita ketahui, agama apapun tidak bisa dapat dipisahkan dari kebudayaan yang melingkupinya baik kebudayaan yang bersifat muamalah maupun ibadah. Unsur ajaran Islam yang berasal dari proses sinkretisasi dengan kebudayaan juga lumayan banyak, istilah Jawanya “mblarah-jeprah”. Beberapa contohnya pada tradisi “sunatan”. Sebelum agama Islam, muncul pada mulanya tradisi sunatan adalah bagian dari produk kebudayaan manusia (profan). Bangsa Mesopotamia kuno, suku Semit yang hidup di Kanaan, juga orang-orang Filistin sudah lama menirukan tradisi sunat, sebagai bentuk keperkasaan.
Begitu juga dengan “polygami”, sebelum Islam datang tradisi ini juga pada mulanya adalah bagian dari produk kebudayaan manusia, suku Arab Quraisy para prianya tercatat banyak memiliki ratusan istri tanpa ada batas tertentu, yang di praktikan pada raja-raja Arab Jahiliyah dan suku-suku tertentu.
Kemudian Islam datang untuk membatasi praktik polygami diluar batas yang banyak merugikan kaum perempuan, menjadi boleh melakukan polygami asalkan maksimal 4 istri, walaupun filsafat tafsir pemahaman keagamaan Islam saya lebih meyakini bahwa polygami sebagai bagian dari sunah rosul baru bisa berlaku ketika bisa adil menjalaninya, dan memang saya lebih meyakini one to one (satu suami satu istri) sebagai hubungan berkeluarga yang ideal dan lebih harmonis di bandingkan polygami.
Lain Arab, lain lagi ajaran Islam di tanah Nusantara utamanya Jawa, di Jawa dan beberapa dataran Nusantara ajaran Islam sedikit berbeda dengan ajaran Islam di Tanah Arab, utamanya pada “medium” muamalah-ibadah bukan “esensi” ibadah.
Medium muamalah-ibadah yang sedikit berbeda dengan Tanah Arab ini lantaran para tokoh Wali Songo ketika mendakwahkan Islam di Tanah Nusantara tidak memberangus kebudayaan yang sudah ada sebelumnya, baik kebudayaan yang berasal dari unsur pembangun teologi Hindu maupun Budha, Wali Songo hanya memasukan nilai-nilai dan syari’at Islam kedalam kebudayaan yang sudah ada, dalam hal ini para Wali Songo melakukan Sinkretisme Kebudayaan Jawa dan Ajaran Islam.
Langkah Wali Songo dalam melakukan sinkretisasi ajaran Islam dan Kebudayaan Jawa ini langkah yang brilian, Wali Songo tidak hanya akomodatif terhadap kebudayaan, tetapi mereka mengambil peran dakwah “Bil hikmah” secara damai tanpa ada paksaan kekerasan komunal yang juga di praktikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika itu.
Dakwah secara damai dan tidak memberangus kebudayaan yang dianggap baik oleh masyarakat secara frontal ini saya kira yang dibutuhkan oleh umat dunia.
Sekarang di tengah maraknya kaum Islamophobis di Eropa Barat, sebagaimana kita lihat dewasa ini, sebagian wajah para pendakwah Islam lebih banyak mempertontonkan kebrutalan tauhid, Tuhan seolah-olah di ikut sertakan dalam kekerasan teror-teror teologis untuk melegitimasi pembunuhan terhadap orang yang tak bersalah ISIS, dan Al-Qaeda adalah contohnya.
Selain itu, wajah pendakwah dunia Islam belakangan ini juga menunjukan gejala yang anti terhadap kebudayaan setempat, ajaran Islam yang berkolaborasi pada nilai-nilai local (local wisdom) sering dianggap bid’ah sesat, contohnya pengharaman pada kebudayaan wayang yang dianggap sesat dan tak bermanfaat, mereka seolah lupa bahwa wayang yang pendalangnya banyak menceritakan kisah-kisah Ramayana atau Mahabarta juga bisa disisipi dakwah-dakwah dan nilai-nilai Islam seperti yang dilakukan pendalang Ki Entus Susmono asal Tegal.
Saya kira, jangan sampai semangat pemberangusan peninggalan budaya ini membuat kita menyesal di kemudian hari, produk kebudayaan bukan hanya sebagai sarana hiburan, ataupun sekedar pemaknaan identitas sebuah bangsa, kebudayaan juga dapat menjadi “soko guru ekonomi” utama sebuah negara yang memiliki andil besar terhadap perekonomian negara.
Para bule-bule yang menyumbangkan devisanya terhadap Indonesia di sektor kepariwisataan lebih banyak di latar belakangi oleh ketertarikan terhadap budaya sebagaimana yang di lansir dalam sebuah survei di laman CNN Selasa, 09/06/2015 menyebutkan bahwa survei, 35 persen turis datang ke Indonesia karena keindahan alam, sedangkan 60 persen turis datang karena budaya.
Dalam hal ini kota Jogjakarta menjadi kota terfavorit yang dikunjungi oleh para turis dari berbagai manca negara juga dikarenakan para bule-bule itu tertarik dengan kebudayaan di Jogjakarta yang sangat kental, demikian dengan kota Surakarta tempatku menimba ilmu juga mulai menjadi destinasi wisata utama bagi para turis lantaran Surakarta juga kental dengan nuansa budaya
Kemudian ada lagi produk kebudayaan dalam bentuk situs heritage seperti “Candi Borobudur” dan “Candi Perambanan”, berapa ratusan triliun devisa yang mengalir dari produk kebudayaan itu ? Dan apa jadinya kalau Candi keduanya itu dibumi hanguskan tak tersisa atas dasar teror -teror teologis tanpa sinkretisasi kebudayaan dan sikap intoleran, tentu tidak ada devisa yang mengalir di kantong-kantong keuangan negara bukan.
Pada akhirnya diskursus mata kuliah Islam dan Budaya Jawa yang mengkaji tradisi sinkretisme Islam dan nilai-nilai baik setempat (local wisdom) seperti pada tradisi Sadranan, Kirab Kia Slamet, Ruwatan, Malam Slikuran, Mitoni, dlsb ini sangat tepat sekali diajarkan di Perguruan Tinggi, karena mahasiswa yang diajarkan mata kuliah ini akan sadar, terbuka, dan respek terhadap segala kebudayaan yang ada tanpa ada teror-teror teologis dan tanpa sikap pengkafiran satu sama lain yang dapat menyebabkan konflik sosial-keagamaan dan disintegrasi bangsa.
Saya juga menyarankan supaya mata kuliah Islam dan Budaya Batak, Islam dan Budaya Sunda, Islam dan Budaya Minang misalnya dlsb yang mengkaji Islam dengan di sinkretisme-kan kepada nilai-nilai lokal (local wisdom) ini sebagai sub-cultur dari varian kajian Islam Nusantara ini diajarkan di kampus-kampus sekuler.
Saya yakin tren pemahaman keagamaan yang konservatif-radikal yang melanda dunia kampus belakangan bisa di mandulkan, itulah betapa pentingnya kita respek dan melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal baik yang sudah lekat dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan bukan hanya unsur pembangun ajaran agama tetapi juga sebagai jati diri bangsa, cerminan toleransi, dan soko guru ekonomi.
Sebagai penutup terakhir izinkanlah saya mengutip pidato Bung Karno yang berbunyi “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
EmoticonEmoticon