Jumat, 10 November 2017

Gaya Hidup Santai Tidak Hanya Milik Meikarta

Tags


Pressiwa.com - “Aku ingin pindah ke Meikarta.” Begitulah sebuah kalimat yang begitu populer diucapkan oleh banyak “kids jaman now” maupun para “emak” maupun “bapake”. Baik disetiap obrolan dengan lawan bicaranya, atau hanya sekadar menuliskan kalimat tersebut dalam status media sosial. Usut punya usut, kalimat “Aku ingin pindah ke Meikarta” adalah bagian narasi iklan, dari sebuah perusahaan properti ternama, Lippo Group.

Ya, Lippo Group memang sedang gencar-gencarnya membangun sebuah hunian terintegrasi yang menawarkan gaya hidup nyaman serta bebas dari kesemrawutan pemukiman yang lazim ditemui kota-kota besar. Lippo menangkap dengan baik dinamika sosial yang berkembang saat ini, bahwa masyarakat Indonesia sedang menggandrungi gaya hidup selow (santai.)

Dibukanya keran liberalisasi keuangan pada MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean ), yang menihilkan sekat ekonomi, serta menihilkan  istilah “rejeki ada tempatnya sendiri-sendiri”. Kemudian membuat gaya hidup masyarakat Indonesia menjadi lebih cepat, persaingan mendapat akses pekerjaan juga tambah ketat. Karena pesaingnya bukan dari penduduk asli sendiri, tetapi juga dari masyarakat diaspora, maupun penduduk asing yang sama-sama tumpah-ruah mencari penghidupan ekonomi di Indonesia.

Gaya hidup yang serba cepat kemudian menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut muncul, bisa berupa tambah stress, kurang bergaul, kesehatan menurun, dlsb. Karena terdapat seabreg masalah dari gaya hidup cepat inilah, kemudian Meikarta datang untuk membawa solusi jitunya.

Kalau kita mau mencermati iklan Meikarta, terdapatlah beberapa konsep hunian yang mengadopsi gaya hidup santai (slow living). Misalnya, rencana akan tersedianya “Central Park” yang sangat luas, konon melebihi Central Park-nya kota New York.

Central Park di Meikarta akan difungsikan sebagai kawasan hijau yang menyehatkan, karena dijamin bebas dari polusi udara. Gaya hidup selow memang identik dengan ruang terbuka hijau, pepohonan rindang, atau taman bermain yang tak menjemukan mata. Potret orang-orang selow di kampung biasa menyatu dengan hijaunya Alam Raya.

Mereka terbiasa bergumul dengan alam, baik saat sedang “nyruput kopi” di sawah, maupun saat menyantap “singkong rebus” di lebatnya perkebunan teh. Orang kota yang diliputi masalah stress berat, kemudian ingin meniru gaya hidup orang-orang desa yang lebih selow, caranya menyatu dengan alam seperti orang desa, lewat Central Park yang ditawarkan Meikarta.

Ada lagi, soal transportasi di Meikarta yang akan bebas dari kemacetan. Di iklan tersebut, Meikarta menawarkan kereta api “elevate” (melayang) yang bebas dari macet, sudah tahu sendirikan jika kita terjebak macet ”paniknya” seperti apa ? , sudah terlambat pergi ke kantor, tetapi kita masih terjebak macet saja, kan tentunya bikin stress. Tingkat stress semakin bertambah ketika suara klakson “mbengak-mbengok”, bikin “gemrungsung” telinga. Arghh.

Nah, Meikarta lagi-lagi membawa misi gaya hidup selow, yaitu dengan menyediakan transportasi kereta yang bebas dari kemacetan. Kalau kita tak menemui kemacetan lagikan, hilang sudah kemungkinan stress yang akan kita dapat.


“Gaya Hidup Santai Tidak Hanya Milik Meikarta.”


Pembaca Pressiwa pasti “kebelet” sekali ingin pindah ke Meikarta, hanya ingin mendapatkan kehidupan yang lebih santai. Keinginanmu itu bisa saja terwujud manakala kamu mempunyai uang ratusan juta, jika tak punya uang sebanyak itu ya tak bisa kamu bilang “Aku ingin Pindah ke Meikarta.” Tetapi bisa jadi pernyataanmu adalah “Aku ingin pindah ke kontrakan” hehe.

Kelemahan Meikarta memang hanya bisa diakses oleh kalangan menengah keatas yang berduit, sementara kalangan rakyat jelata seperti saya, harus rela menelan ludah tak dapat memilikinya. Namun bukan berarti untuk mendapatkan gaya hidup selow, harus pindah ke Meikarta.

Ada banyak cara lain, yaitu mulailah menyatu dengan alam dengan pindah ke pemukiman pedesaan, disana akan sobat temui masyarakat yang “adem ayem” mencari nafkah seperlunya. Asal dapur tetap “ngebul” hati tetap akan terhibur. Orang desa bukan berarti malas, tapi mereka percaya bahwa untuk menjadi orang yang berkelimangan harta, butuh proses yang selow dan tidak “grusak-grusuk” untuk mewujudkannya.

Saya jadi ingat sebuah buku berjudul Negeri Bahagia Skandinavia yang ditulis oleh Lutfi Aminuddin. Dibuku itu tertera penjelasan, bahwa masyarakat dari negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia) menjadi urutan teratas jajaran negara yang penduduknya paling bahagia versi PBB disebapkan oleh budaya “hyge” (selow) yang mereka miliki, masyarakat Skandinavia beralasan bahwa untuk dapat menikmati hidup, diperlukan sebuah filosofi “ Because of their philosophy that life is once.” Jika kita ingin menemukan padananya dalam orang-orang Jawa yaitu “ora ngoyonan”.

Arti filosofi ini yaitu sebuah pandangan hidup yang menyeimbangkan dunia pekerjaan dengan
kesehatan badan maupun ruhaniyah. Jika kita bekerja dengan “ngoyo”, pergi pagi pulang pagi duit memang akan bertambah banyak. Tetapi bisa saja dari aktivitas pekerjaan yang tiada henti tersebut, uang kita bisa seketika hilang, ketika kita jatuh sakit.

Selain itu, bersyukur juga bagian dari gaya hidup selow, ditengah tingginya harga kendaraan mobil di Skandinavia, serta pajaknya yang dua kali-lipat dari harga kendaraan. Masyarakat sana tetap bersyukur, dan selow-selow saja. Ketika menggunakan sepeda yang lebih murah dan bebas pajak untuk pergi ke kantor, atau ke tempat lainya.

Hingga saking banyaknya pengguna sepeda di Denmark, negeri yang merupakan bagian dari Skandinavia ini mendapat julukan “World Bicycle Country” oleh PBB. Jadi, jika kamu tertarik ingin mendapatkan gaya hidup yang lebih selow, tidak perlu memaksakan pindah ke Meikarta jika uangmu tak cukup.

Ada cara lain, yaitu bisa pelajari gaya hidup orang-orang desa ataupun orang-orang Skandinavia. Atau bisa baca terus opini dari Pressiwa yang pastinya selow. Jika sekiranya cocok, bisa dipraktekan.




EmoticonEmoticon