Pressiwa.com - Dewasa ini, banyak sekali pemahaman yang menyebar di mayarakat. Itu bagaikan debu polusi yang tidak dapat dihindari.
Informasi kabar bohong (hoax) dapat disebarkan oleh banyak pihak yang tidak bertanggung jawab lewat media sosial maupun media elektronik. Jika kita tidak dapat menfilternya, kita dapat terseret terhadap pemahaman radikalisme maupun ekstremisme. Hal tersebut akan terus terjadi jika tidak segera diadakan pencegahan maupun tindakan yang nyata.
Tidak dapat dipungkiri, masyarakat akan terhasut berita tersebut. Perlu diingat, masyarakat kita adalah masyarakat yang heterogen. Akan banyak orang yang terimplikasi jika ada beberapa masyarakat yang akan memanfaatkan sebuah paham dalam suatu kepentingan.
Sebelum kita membahas lebih jauh, kita perlu memahami konteks dari ekstremisme. Dalam Islam, ekstremisme pernah terjadi pada golongan Khawarij. Golongan tersebut tidak puas atas keputusan peristiwa Tahkim atas sahabat Ali bin Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan.
Demikian itu, kaum Khawarij mengkafirkan semua orang, termasuk pada sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada saat itulah peristiwa politik menjadi ajang saling mengkafirkan antara kelompok-kelompok Islam.
Tidak sampai pada itu, ekstremisme terus berkembang pada masa kekhilafahan umat Islam. Pemahaman yang ekstrem beberapa kali dilakukan oleh beberapa golongan selain Khawarij, di antaranya Muktazilah, Qodariyah dan Jabariyah.
Misalnya, paham yang dilancarkan oleh golongan Jabariyah. Kelompok itu menyakini bahwa perbuatan manusia tidak ada hakikatnya dan manusia tidak mempunyai kehendak.
Demikian pula oleh beberapa kaum tasawuf yang mengaku sebagai Tuhan, yaitu pada masa Khalifah al-Muqtadir Billah al-‘Abbasi terjadi fitnah dari al-Husain ibn Manshur al-Hallaj. Paham ekstrem dalam akidah yang disebarkannya adalah perkataannya, “Saya adalah Allah” atau “Dalam jubah ini tidak ada apapun kecuali Allah”.
Ketika al-Hallaj dihukum bunuh oleh Khalifah saat itu, murid-muridnya mengatakan bahwa saat darah mengalir dari tubuhnya menuliskan kalimat “La Ilaha Illallah, al-Hallaj Waliyyullah”. Tentang kesesatan al-Hallaj ini, al-Imam al-Rifa’i al-Kabir berkata: “Jika ia dalam kebenaran maka ia tidak akan berkata saya adalah al-Haq Allah“.
Paham yang ekstrim tersebut sudah pasti kita hindari. Demikian pula penulis akan memaparkan pokok bahasan tentang pemahaman Islam yang moderat agar dapat sebagai pembendung ekstremisme.
Islam Moderat
Banyak yang beranggapan bahwa Islam moderat adalah Islam yang ada di tengah-tengah. Maksudnya, yaitu orang Islam yang mempunyai pemikiran berada di dua posisi yang bertentangan.
Kalau kita pahami tentang Islam moderat, kita pasti berpikir pemahaman yang ada pada masa awal Islam yang mengambil jalan tengah antara perselisihan sahabat Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan. Jika moderatisme dipahami sesuai konteks tersebut, maka terasa dangkal dan tidak sesuai pada masa sekarang. Moderatisme Islam lebih dibawa pada pemahaman sesuai konteks kekinian dan membutuhkan penjelasan kaum akademis yang lebih kompeten.
Menurut Ali Mazru’i, moderat dibagi antara radikalisasi politik dan konservatisme teologis. Makna keduanya, yaitu Islam moderat dapat membendung ancaman dari keduanya. Contoh riilnya, yaitu dilakukannya hukum syariat di Aceh.
Aceh merupakan provinsi yang menerapkan hukum syariat itu dalam doktrin teologis, berbeda dengan sikap radikalisasi politik. Provinsi Aceh tetap memegang hukum sesuai UUD 1945 dan Pancasila. Dengan contoh tersebut, pemahaman tentang Islam yang moderat akan tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Jika melalui kaca mata politik yang digunakan, maka moderatisme adalah nilai ideal yang seharusnya dipraktikan oleh semua orang.
Dalam pandangan yang lain, seperti yang diungkapkan Khaled Abou el-Fadl, ia melihat Islam moderat dengan cara yang agak berbeda. Baginya, tidak ada satu label pun kepada modernisme Islam yang bisa “bekerja sebaik istilah moderat”.
Dan juga oleh Muchlis M. Hanafi, memaknai moderat (al-wasat) sebagai metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku secara tawâzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan, sehingga ditemukan sikap yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tradisi masyarakat, yaitu seimbang dalam akidah, ibadah dan akhlak.
Dan sedikit berbeda tentang moderat, Ahmad Najib Burhani mengartikan Islam moderat untuk Indonesia lebih memaknai bahasanya, yaitu “ mid-position between liberalism dan Islamism.” Jadi, bagi Burhani, Islam moderat Indonesia adalah bukan liberal dan juga bukan islamis. Dengan demikian, setelah kita tahu bagaimana cara memaknai konsep moderat khususnya dalam aqidah Islam, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan perihal masalah Ekstremisme.
Jalan Moderasi
Di Indonesia, ada organisasi yang dianggap berpandangan ekstrem tentang pendirian khilafah. Banyak orang yang salahartikan tentang hal tersebut. Maka dengan konsep moderatisme kita dapat mengatasi paham-paham yang dianggap bertentangan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian, bagaimana cara kita menanggapi dan menyikapi perihal tersebut? Salah satunya dengan jalan moderasi. Kita semestinya menolak ekstremisme lebih-lebih mengatasnamakan agama. Tindakan ekstremisme acap kali memerlukan penanganan yang serius. Masalah tersebut menjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi ekstremisme.
Sikap jalan moderasi ditawarkan Muhammadiyah sebagai cara menyikapinya yang paling relevan dan yang paling bijak. Keras tidak harus dilawan dengan kekerasaan, perlu dihadapi dengan jalan alternatif dan tidak sembarangan. Menghadapinya pun dengan pandangan yang menyeluruh dan tidak secara parsial.
Kita yang moderat seharusnya menyikapi dengan cara moderasi, bukan dengan cara tindakan langsung (direct action) sehingga kita gampang menyalahkan paham-paham yang dianggap ekstrem. Maka dari itu, jalan moderasi lebih membawa suasana normalisasi, sehingga kita dapat memilah-milah mana ekstremisme yang perlu dihindari
EmoticonEmoticon