Minggu, 03 Desember 2017

Pekalongan Tak lagi Disebut Sebagai Kota Batik, Benarkah ?

Tags


Sebagai pemilik sah daripada slogan kota Batik, Pekalongan tak bisa di ragukan lagi ekstensinya dalam menghasilkan kerajinan batik di segala lini. Pekalongan merupakan pusat komando utama, yang mendalangi persebaran ragam batik di seluruh Indonesia.

Tak ayal, bermunculan para pengrajin batik di sudut-sudut kota ini, baik yang di nahkodai oleh korporasi, maupun perorangan. Salah satu kawasan utama sebagai pusat pengrajin batik di Pekalongan yaitu seperti di daerah Sentono, Wiradesa, Pesindon, dan Kedungwuni.

Sayangnya saya tak menjumpai para pengrajin batik dari Pemalang yang kualitasnya bisa menandingi para pengrajin batik di Pekalongan, kalau ternyata para pembaca Pressiwa menginterupsi penilaianku ini. Tak masalah, saya tak mungkin “men-sleding kepala Anda.

Lagian Pemimpin Redaksi Pressiwa, si Lutfi Aminuddin kayaknya tak mungkin “nyemprit” pernyataanku ini. Apalagi dia sastrawan, ya jaga image lah.


“Motif Batik Pekalongan Lebih Bervariasi.”


Jika dirunut secara historis, kemunculan pusat pengrajin batik di Pekalongan tidak “ujug-ujug” muncul begitu saja. Sudah ratusan tahun lamanya Pekalongan memulai proses produksi batik. Akibatnya, Pekalongan memiliki motif batik yang lebih kaya daripada motif batik Solo dan Yogya. Demikian seperti di kutip dalam buku Sejarah Batik Indonesia, Deden Dedi S.

Pola-pola yang muncul dalam motif batik Pekalongan banyak mengadopsi budaya luar yang berasimilasi secara alami (given). Inilah mengapa simbol-simbol kebudayaan Belanda, Jepang ataupun Tionghoa ikut mewarnai setiap goresan “semlohay” pada batik Pekalongan yang indah itu. Ini menggambarkan secara eksplisit, bahwa orang-orang Pekalongan sangat terbuka terhadap kebudayaan yang datang dari luar. Berbeda dengan batik Yogya yang memiliki motif terbatas atau singular.

Keterbatasan motif yang ada di batik Yogya disebapkan karena politik kerajaan Mataram yang melakukan privatisasi kebudayaan dari unsur kolonial. Kendati batik Pekalongan memiliki kelebihan dari ragam motif yang lebih banyak, dan harga yang relatif terjangkau dari jenis batik lainya di Indonesia.

Batik Pekalongan berada pada peringkat ketiga, peringkat kesatu tentu di duduki oleh Yogyakarta, kemudian di susul Solo. Pemeringkatan ini berdasarkan dengan data Unesco yang mengambil sampel para turisman tentang keminatan terhadap ragam batik.

Kekalahan Pekalongan atas Yogya, dan Solo dalam pandangan saya disebapkan karena daya dukung Kota Pekalongan berupa infrastruktur publik yang lebih rendah daripada Yogya dan Solo. Kita tahu sendiri bahwa Yogya memiliki bandara Adi Sucipto yang dapat menggaet turisman internasional dengan mudah, begitu juga dengan kota Solo yang memiliki bandar udara, Adi Sumarmo.

Kekalahan Pekalongan dalam mengusung batik semakin nyata ketika bus bernama Batik Trans beroperasi di kota Solo. Inilah mengapa dalam perkembangannya Solo dan Yogya lebih dikenal sebagai pusatnya kota batik di bandingkan dengan Pekalongan dimata internasional. Karena batik dijumpai begitu masif diruang-ruang publik, di Yogya maupun Solo. Tidak hanya dijumpai pada pakaian saja.

Padahal band kenamaan Slank lewat lirik lagunya membantah “kota batik di Pekalongan, bukan Yogya eh bukan Solo.”  Agaknya lagu itu tak begitu berarti, jika kota Pekalongan tak berniat menginvasi kerajinan batik di segala lini tidak hanya pakaian.

Coba saja kalau di Pekalongan ada bus batik, telor asin batik, rumah-rumah bercat batik, jalanan bercat batik, dan perkantoran bercat batik, tentu Pekalongan akan sangat terkenal dijuluki kota batiknya dunia mengungguli Solo dan Yogya.

Asal jangan kemaruk semuanya dibikin batik, kain kafan buat pembungkus jenazah kalau dibikin batik kan “wagu”. Lha kenapa wagu? Tak perlu saya menjawab, pembaca Pressiwa pasti sudah mengetahui jawabanya.




EmoticonEmoticon