Minggu, 29 Juli 2018

Ketika TNI Bertindak Kasar Dengan Masyarakat Sipil

Tags




Pressiwa.com - Warga Gunungsari RT.03, 04, 05. RW.008 dan RT.03. RW.009 Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo, Surabaya, menerima tindakan sewenang-wenang baik intimidasi maupun kontak fisik yang dilakukan oleh Kodam V Brawijaya dan Korem 084, pada tanggal 9 Juli 2015, dalam upayanya menyita lahan yang ditempati oleh masyarakat dengan dalih bahwa lahan tersebut adalah milik Kodam V Brawijaya. Berikut ini kisahnya...


Berawal pada tanggal 14 Agustus 2014, warga RW.008 dan RW.009 Kel.Sawunggaling, Kec.Wonokromo, mendapat undangan pertama dari Kodam V Brawijaya perihal penertiban aset milik TNI AD, akan tetapi warga tidak menghadiri undangan tersebut, karena warga tidak merasa menempati rumah dinas TNI AD dengan SIP ( Surat Ijin Penempatan ), sehingga Kodam memberikan undangan kembali sebanyak 8 kali kepada warga, dan warga tetap tidak memenuhi undangan tersebut karena isi undangan tersebut adalah tentang penertiban dan pengosongan rumah / bangunan aset milik TNI AD, dan sekali lagi warga menegaskan bahwa rumah dan bangunan yang ada di wilayah jalan Gunungsari, Surabaya adalah milik pribadi masing -masing warga dengan bukti surat kepemilikan SHM, HGB dan sebagian masih berupa Akta Jual Beli Notaris.

Setelah tidak mendapatkan respon warga Gunungsari atas undangan tersebut, maka pada bulan April 2015 TNI AD datang secara tiba-tiba ke rumah-rumah warga yang diwakili oleh SIPAM Kodam V Brawijaya, Kapten Priyo didampingi oleh beberapa anggota TNI AD, mengintimidasi warga, mereka meminta warga untuk membuat MoU dengan pihak TNI AD, menurut penjelasan secara lisan, MoU tersebut secara garis besar mewajibkan warga untuk melakukan sewa-menyewa atas rumah milik warga kepada TNI AD Kodam V Brawijaya. 

Pada hari Kamis tanggal 9 Juli 2015 pukul 10:00 wib, warga didatangi oleh komandan Korem Kol. Nur, dan Kodim dengan mengerahkan 1 ( satu ) kompi pasukan, untuk memaksa warga / penghuni rumah di jalan Gunungsari untuk menandatangani MoU ( Memorandum of Understanding ) sewa-menyewa, apabila warga tidak mau, maka akan diusir secara paksa dan rumah disegel ( dirantai lalu digembok dari luar ) oleh TNI AD, wargapun bergeming dan akhirnya TNI AD melakukan penyegelan. 



Berdasar pengakuan warga, ada beberapa warga yang di seret keluar dari rumah dan ada yang terluka. Ada juga warga yang masih tertinggal didalam rumah tetapi TNI AD tetap melakukan penyegelan. 35 unit rumah akhirnya sisegel, listrik dari PLN diputus begitu saja, jika warga keberatan atas tindakan yang dilakukan mereka, warga dipersilahkan untuk menggugat melalui jalur hukum, padahal jika dicermati, tindakan yang dilakukan oleh TNI AD terhadap warga merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Secara spontan seluruh warga Gunungsari terutama para perempuan ( di garis depan ) memblokir / menutup jalan Raya Gunungsari dan sekaligus berhadapan dengan TNI AD, warga gunungsari membubarkan diri setelah Kapolsek Wonokromo memfasilitasi mediasi antara Ketua Paguyuban Masyarakat Gunungsari dengan TNI AD yang diwakili oleh Komandan Kodim.

Ketua Paguyuban meminta kepada TNI AD untuk membuka segel namun Komandan Kodim mengabaikan permintaan Ketua Paguyuban dan sampai saat ini rumah warga tetap dalam keadaan tersegel.

Perlu diketahui bahwa warga jalan Gunungsari-Surabaya telah menempati wilayah ini sejak tahun 1950 dan saat itu keadaan tanah masih berupa rawa-rawa, sedangkan Kodam V Brawijaya berdiri tahun 1974 yang letaknya jauh dibelakang pemukiman warga di jalan Gunungsari.

Wilayah Gunungsari adalah tanah Hak Eigendom Verponding 9837 ( E.3956 scbd ) yang sah secara hukum, sehingga warga memiliki bukti surat-surat kepemilikan berupa SHM, HGB dan juga ada yang berupa Akta Jual Beli Notaris, hingga saat ini jalan Gunungsari telah dihuni 667 jiwa terdiri dari 189 Kepala Keluarga, dan berdiri 151 bangunan permanen rumah tinggal.

Sedangkan Pihak Kodam sampai saat ini tidak dapat menunjukkan bukti berupa surat-surat ( legal formal ) kepada warga bahwa tanah wilayah Gunungsari-Surabaya adalah milik TNI AD Kodam V Brawijaya. Mereka hanta berpegang pada spesifikasi sebagai berikut:
Data tanah dari Kodam V Brawijaya:
1. Alamat: Ksatrian Gunungsari
2. Luas: 1.080.860 m2
3. Peruntukan: Perkantoran dan perumahan
4. Bukti Milik Awal: Surat ukur no 31/1956/a.w tanggal 19 Desember 1956
5. Status: BMN TNI AD sejak th. 50

Spesifikasi diatas ( surat ukur ) tidak bisa dijadikan bukti otentik. Jika hanya dengan surat ukur bisa meng-klaim bahwa suatu wilayah adalah miliknya, maka semua orang di Indonesia bisa saja memiliki lahan hanya dengan surat ukur dan itu dianggap sah. Menurut UUPA No.5 tahun 1960, menyatakan bahwa semua peraturan dibawah tahun 1960 sudah tidak berlaku. Sedangkan warga Gunungsari sah berdasar UUPA 1960 dengan pasal-pasal berikut ini:
Hak guna bangunan
Pasal 35
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Ketentuan-Ketentuan Konversi
Pasal 1
(1) Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.

Seharusnya dan sepantasnya TNI AD Kodam V Brawijaya menunjukan bukti-bukti kepemilikan atas tanah di jalan Gunungsari kepada warga jika mereka memang berhak atas tanah tersebut, bukan hanya asal dalam membuat pernyataan, yang menyatakan bahwa sertifikat SHM, HGB yang dimiliki oleh warga Gunungsari adalah palsu.

Hingga saat ini warga tinggal diantara puing-puing bangunan dipinggir jalan raya Gunungsari dengan tenda, tidur beralaskan tikar seadanya dan makan apa adanya dalam suasana mencekam dan ketakutan. 
Pemetaan antara daerah kekuasaan Kodam V Brawijaya & Warga Gunungsari RW.008 dan RW.009:

Wacana Arogansi Aparat
Arogansi masih mewarnai wajah aparat keamanan di negeri ini. Arogansi itu ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum dan melakukan kekerasan di area publik. Perilaku ini menjadi bukti reformasi kultural di lingkungan TNI belum berhasil.  Sifat merasa lebih superior dan memandang rendah terhadap sipil maupun instansi yang lainnya harus dihilangkan. Hal tersebut justru akan merugikan negara di mata internasional, apalagi institusi tersebut pokok perannya adalah bertugas menjaga keamanan nasional.

Pembiaran terhadap sikap-sikap arogan akan menjadi preseden buruk yang bisa menyebabkan gejala sesumbar kekuatan oleh aparat TNI semakin menguat.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang tahun 2010 terjadi 216 kasus arogansi aparat yang dilakukan anggota. Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56 perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi. Tahun 2011 sampai tahun 2018, jumlah perilaku arogan dari aparat, yang tercatat, meningkat pesat. Kontras mencatat, tahun lalu, 201 kasus lainnya dilakukan anggota TNI.
Nah kemudian ada sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik hati yaitu apakah agenda reformasi kususnya penghapusan dwi fungsi ABRI secara substansi gagal terlaksana?.

Alat kekuasaan seperti senjata, jabatan atau pangkat yang dimiliki oleh aparat keamanan telah disalah gunakan. Penyalahgunaan ini jelas terlihat dari ketika alat kekuasaan digunakan untuk mengintimidasi rakyat sipil yang belum tentu bersalah. Disatu sisi aparat harus melindungi rakyat sipil, tapi di sisi yang lain oknum aparat juga mengancam rakyat sipil. Mungkin gejala ini adalah sebuah fenomena yang dikatakan oleh Plato sebagai “megalothymia” yaitu keinginan atau motivasi seseorang atau kelompok untuk diakui eksistensinya sebagai pihak yang superior. Lawannya adalah Isothymia dimana kebutuhan emosional yang menginginkan keberadaan seseorang apabila setara dengan orang lain (J Kristiadi :2012)
Salah satu faktor lain adalah tingkat psikologi dan emosional oknum aparat keamanan yang terlalu agresif, ditambah pencetusan hak memiliki dan menggunakan senjata api menambah aksi arogan aparat (Nitibaskara :2012).
Sepertinya aparat keamanan telah lupa “wejangan” dari Panglima Besar Jendral Soedirman yang mengatakan “kita adalah tetara pejuang yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk NKRI, maka jangan sekali-kali kalian melukai rakyat yang telah membesarkan kita"


EmoticonEmoticon