Pressiwa.com- Kemarin pagi sebelum saya berangkat ke tanah rantau, terjadi sedikit percakapan kecil antara saya dan ibu saya yang membuat pikiran masih terngiang-ngiang hingga sekarang, sampai pada akhirnya saya menulis tulisan ini:
Saya: Lha bapak kemana, mak?
Emak: Bapak sudah ke sawah, tadi pagi-pagi buta.
Saya: Lha kok tumben pagi sekali berangkatnya?
Emak: Iya, soalnya bapak tidak dapat orang buat ndaut (mencabuti padi yang berumur beberapa minggu untuk kemudian di tandur), jadi di daut sendiri.
Saya: Lha pada kemana mak, kok pada nggak bisa?
Emak: Mereka juga sedang banyak yang ndaut di sawahnya sendiri, atau di sawah tetangga dan saudaranya, jadi ndak dapat orang.
Ulalaa, sampai segitunya. Saya jadi berpikir, apakah jumlah petani di desa saya semakin hari semakin menyusut habis? Dulu, susah sekali menemukan kasus serupa, tapi sekarang hal seperti itu sudah sangat sering terjadi, biasa. Hipotesis saya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Namun dari data yang ada, memang banyak generasi muda di desa saya yang lebih memilih untuk monco (red: merantau) daripada melanjutkan perjuangan orangtuanya untuk bertani. Sedang, para generasi tua satu persatu juga pasti tumbang dihadapan usia. Jadi, jelaslah sudah apa yang saya praduga kan.
Hal ini menjadi suatu hal yang wajar ketika melihat geliat globalisasi dan budaya pop yang menjangkiti generasi muda -tak terkecuali kaum muda di desa- saat ini. Maka, disaat-saat yang seperti ini, materi adalah satu hal yang punya daya magnet cukup kuat. Berbeda dengan zaman dulu dimana ketika dirasa cukup untuk makan sehari-hari maka juga sudah dianggap cukup.
Selain itu, kesan yang menempel pada kaum petani dari zaman asu ra enak hingga zaman piye, penak jamanku to? ini masih tetap sama, kaum pinggiran (untuk tak disebut miskin). Maka, di zaman yang serba instan dan begitu mengagungkan ke-aku-an ini, memilih untuk terlihat gagah dengan merantau ke kota adalah suatu keniscayaan (terlepas dari apakah di kota menjadi apa itu urusan belakang, yang jelas pulang bisa tampil trendy).
Secara diametral, di sini kita melihat dengan sangat jelas bahwa sektor pertanian sampai detik ini belum bisa menjadi sektor yang menjanjikan, yang darinya orang dapat menggantungkan hidup. Sudah semakin jarang kita temui cerita seorang petani yang kaya raya dan penuh kuasa seperti dongeng-dongeng di masa kecil. Berarti ada yang salah dari pertanian kita.
Oke ... Sektor tersebut memang menyerap tenaga kerja terbesar. Tetapi jangan lupa, kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto-nya (PDB) rendah, hanya sekitar 14,5 persen. Bandingkan dengan sektor industri dan manufaktur yang hanya menyerap 12 persen tenaga kerja, tetapi sumbangsih terhadap PDB dua kali lipat dari pertanian, yakni 25 persen.
Gimana? Jelas kan? Angka tersebut secara jelas memberi gambaran betapa rendahnya produktivitas pertanian kita. Akhirnya ia tidak kompetitif dan selanjutnya semakin ditinggalkan oleh keluarga petani. Celakanya, hingga saat ini belum ada upaya yang terukur dari pemerintah terkait dengan strategi penyelamatan warisan nenek moyang ini.
Meminjam kesenduan Bung Bre Redana, adakah ini senjakala dunia tani? Mudah-mudahan tidak. Yang pasti, selama logika konsumsi itu ada dan metabolisme tubuh manusia mutlak bergantung kepada pangan, pertanian tidak mungkin binasa dimakan waktu.
Tapi ya itu tadi, petani adalah pihak yang paling lemah, tidak diperbolehkan kaya di negeri ini. Di satu sisi, ada sekelompok orang yang memang mati-matian memperjuangkan kesejahteraan kaum petani, namun di sisi yang lain juga, ada pihak yang tidak senang dengan kesejahteraan petani itu sendiri. Saat petani sibuk memperjuangkan kesejahteraannya, disaat yang sama juga ada saja yang, sengaja atau tidak, ikut menindasnya. Mau bukti?
Tidak perlu jauh-jauh, saya mulai dari pertanyaan ini saja: Apa yang membuat petani bisa sejahtera? Ya, harga beras naik. Namun apa yang terjadi saat harga kebutuhan pokok naik? Benar, protes terjadi dimana-mana, bahkan aktivis unyu-unyu yang katanya pro rakyat kecil, melindungi rakyat tertindas, juga ikut-ikutan demo. Jadi secara tidak langsung -diakui ataupun tidak- dia juga ikut berperan dalam upaya menindas kaum petani. Nah loh, susah kan?
Maka dari itu, berdasarkan apa yang saya uraikan diatas kiranya cukup untuk memberi jawaban mengapa petani sangat susah sejahtera di negeri ini sebagaimana cita-cita luhur bangsa. Namun, wong namanya juga petani, dasarnya sudah orang nriman, dapatnya seberapapun ya pasti akan disyukuri (meskipun banyak juga yang nggrundel), sekiranya hasilnya cukup untuk makan sehari-hari ya mereka sudah merasa dirinya sejahtera, itulah bedanya.
Sekalipun secara tidak langsung para petani nasibnya terdzolimi (jahat banget ya kayaknya kalo pake diksi ini), namun mereka tetap bekerja dengan senang hati.
Mereka dengan lapang dada selalu bekerja agar setiap orang di negeri ini terhindar dari kelaparan. Mereka tetap bekerja karena padi (atau tanaman lainnya) jugalah makhluk Tuhan yang harus dirawat dan disayangi.
Untuk kemudian tanaman itu memberikan keuntungan dan kebermanfaatan bagi manusia pada umumnya, itu sudah lain hal.
Meminjam kalimat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, ”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan.
Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Maka dari itu, petani seharusnya layak untuk menyandang gelar sebagai seorang pahlawan dan disejajarkan dengan profesi seorang pendidik. Tapi ya itu tadi, bukan pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan "Pahlawan dalam Ironi".
"Tak ada seorang muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau burung, melainkan dihitung menjadi sedekah (bagi yang menananmnya).” (hr. Bukhori)
EmoticonEmoticon