Kamis, 09 November 2017

Filosofi Pernikahan yang Sakral, Belum Tentu ada Pada Kahiyang Ayu

Tags



Banyak orang-orang tua Jawa bilang, bahwa jika seseorang belum pernah menikah maka seseorang tersebut mendapat gelar “durong dadi uwong” ( belum jadi orang).  Sebaliknya orang yang sudah menikah akan digelari “uwes dadi uwong” (sudah jadi orang) baik kepada wanita, maupun pria.
Begitulah hebatnya sebuah gelar dari hasil sebuah pernikahan di Tanah Air.

Pernikahan tidak hanya dianggap “sakral-agamis” oleh pelakunya, tetapi juga sebagai bagian dari tujuan hidup final seseorang. Puncak dari pencarian jatidiri, karir, serta puncak dari jabatan selalu bermuara pada pernikahan. Bahkan banyak orang rela “jungkir balik”, kepala dikaki kaki dikepala bekerja keras sekuat tenaga, hanya untuk menabung sebagai keperluan biaya pernikahan.
Demikian Juga dengan prosesi pernikahan antara Kahiyang Ayu dan Bobie Setiawan, maka keduanya bisa digelari “dadi uwong”. Karena kedua orang tersebut telah berada pada ujung final pencarian jadi diri.

Dalam benak hati saya yang “betah njomblo”, sampai saat ini muncul beragam pertanyaan kepada teman-teman saya yang sudah menikah duluan. Pertanyanya, apa parameter seseorang hingga merasa cocok untuk menikah dengan pasanganya. Apakah karena hartanya, kepintaranya, atau karena “si doi” keturunan ningrat, atau karena alesan seabrek “tetek bengek” lainya yang menuntut sebuah keidealan.

Saya yakin jawaban teman-teman sangat bervariasi, tergantung kondisi hidup dan ketertarikan terhadap tipe pasangan tertentu. Kalau boleh saya menebak pernikahan antara Kahiyang Ayu dan Bobie Setiawan, selain didasari cinta, keduanya juga didasari dengan martabat keluarga dan kekayaan. Dimana Bobie Setiawan sebagai menantu Jokowi sama-sama dalam keluarga yang terpandang, Bobie tidak hanya tampan dilihat mata wanita, tapi kekayaanya dari hasil berbisnis sepak bola dalam menahkodai sebagai CEO klub Persis Solo.
Walaupun keduanya berada dalam keluarga yang terpandang dan berada dalam pusaran uang yang melimpah, saya sangat salut resepsi pernikahan keduanya diadakan secara sangat sederhana.Tetapi kemudian ada orang-orang tertentu yang rela kehilangan “gelar keningratanya”, setelah memutuskan memilih orang biasa yang tidak memiliki darah ningrat. Contohnya pada Pangeran William yang memutuskan menikah dengan wanita “non-ningrat” yaitu Kate Middleton.

Macam-Macam Motivasi Pernikahan
 
Untuk masalah ketulusan cinta, saya menilai masyarakat Barat lebih dinamis soal memilih pasangan, dimana kita sering menjumpai orang-orang Barat lebih simpel dalam menetapkan kriteria pasanganya. Orang-orang Barat jarang sekali mempermasalahkan latar belakang agama, suku, maupun unsur kekeluargaan.

Karena memang pada umumnya masyarakat Barat lebih memilih Atheis. Konstruksi masyarakat Barat juga individualistik sehingga orang tua maupun keluarga terdekat tidak mengintervensi jika ada anaknya yang memilih menikah dengan orang biasa.
Hal inilah yang mengakibatkan pasangan Barat lebih dapat mempertahankan keromantisan kehidupan rumah tangganya.

Sebagaimana sering kita jumpai para pasangan Bule yang sedang berliburan di Bali bergandengan tangan satu samalain, walaupun umurnya sudah 70-an keatas. Kita akan sulit mendapat pemandangan ini di Indonesia. Namun bukan berarti kehidupan paska pernikahan orang-orang Barat “adem ayem” begitu saja. Tidak adanya aturan norma pantas atau tidak pantas yang bersumber dari agama maupun adat istiadat membuat pasangan Barat lebih gampang bercerai, terutama jika kedua pasanganya tidak lagi satu misi.

Sebaliknya masyarakat Indonesia soal memilih pasangan hidup lebih selektif. Dimana kita akan mengenal sebuah filosofi “bibit, bebet dan bobot.” Pemilihan pasangan yang lebih selektif ini kemudian yang banyak membuat sedikit para jomblower ( baik wanita atau pria) frustrasi.
Terutama jika mereka kesulitan memenuhi kriteria “gebetan”.
Walaupun filosofi ini kemudian yang membuat hubungan rumah tangga Indonesia lebih awet, karena terikat dengan norma agama dan kebudayaan dimana negara ini termasuk rendah untuk urusan perceraian.

Pada akhirnya Kahiyang Ayu yang telah memilih Bobie Setiawan sebagai pendamping hidupnya, sudah sesuai dengan bibit, bebet, dan bobot. Tetapi kriteria yang sudah terpenuhi tersebut tidak menjamin hubungan pasangan suami istri akan awet sepanjang masa. Kecuali Kahiyang Ayu dan Bobie Setiawan sama-sama punya komitmen kuat untuk tetap bersama selamnya sampai ajal menjemput. Juga mau menerima kekurangan masing-masing dan melengkapinya.
Jika teman pembaca yang budiman menanyakan wanita seperti apa yang memenuhi kriteria saya, untuk dijadikan pasangan hidup, saya simpel saja menjawab. “Yang penting heppy. Hehe



EmoticonEmoticon