Senin, 02 April 2018

Inilah Kepalsuan Berbahasa Eufemisme Pada Saat Kita Sedang Pacaran

Tags

Via Pixabay




Pressiwa.com - "Kau ibarat rembulan ditengah gelap malam, kau seperti melodi dalam kensunyian nan menenangkan,, kau menyejukkan bak embun di rerimbun pagi nan gersang”.


Deretan kata yang membentuk harmoni nan indah dan agak ndobol tersebut lazim diproduksi oleh mereka yang sedang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan, orator (tukang demo yang berani mati, tapi takut lapar) mendadak bisa berubah menjadi seorang pujangga saat sedang jatuh cinta. Segala macam jurus penaklukan-penaklukan melalui bahasa pun dilakukan untuk membuat si target makin klepek-klepek.


Kita akan bicara tentang salah satu siklus hidup yang menurut Shah Rukh Khan, waktu seakan berdetak melambat dan rembulan menjadi begitu dekat saat kita sedang bersama si pujaan hati, Ngeri gak ndan?. Yah, pacaran atau orang sekarang lebih suka menyebutnya ta’aruf, karena menggunakan bahasa Arab dan terkesan bau surga. Kalau menurut senior Teguh Wibowo ta’aruf sudah bersertifikat Halal, sementara pacaran Haram, Allahu Akbar!!!. Harus diakui antum bisa mendapatkan hati pujaan 90% (dari hasil riset penulis 5 menit yang lalu) karena pertolongan bahasa lho, selain dengan modal perhatian dan nraktir si dia meskipun hanya di Kucingan Songo, dan itu pun nyatet.



Menurut Mbah Mackey, Intimacy dalam pacaran sesungguhnya terbangun karena adanya beberapa faktor ndan, misalnya saling memahami dan berbagi (caring and sharing), kepercayaan, kejujuran, komitmen, empati dan kelembutan. Semua itu dimediasi dan difasilitasi oleh bantuan bahasa, baik verbal maupun non verbal (ben rodo ilmiah ndan). Oleh karena itu penting bagi kita memahami bahasa. Oh ya, penulis kemarin mengatakan bahwa hakikatnya bahasa selalu merepresentasikan karakter budaya penuturnya, jadi bahasanya tidak salah ndan¸ dia tetaplah netral hanya kemudian budaya yang membuatkan memiliki taste (seperti dalam teori Mbah Boudieu).


Nah, sekarang coba kita amati bahasa yang biasanya digunakan oleh mereka yang berpacaran. Untuk para gadis jangan kemudian cepat menyimpulkan segalanya adalah gombal yah? Karena sesungguhnya meskipun menolak, wanita itu sangat suka digombalin. Ini dia faktor-faktor dominan dari mereka yang dilanda lautan api asmara, meskipun rak nduwe duit, tapi setidaknya punya paketan internet, atau bisa connect ke wifi kampus. Menurut Mbah Roman Jakobson dan sedulurnya Richard Bauman ada beberapa unsur kebahasaan (metabahasa) yang mendominasi aktivitas berkomunikasi, termasuk dalam pacaran.


Pertama, bahasa dalam pacaran itu bersifat Emotif, artinya baik pria maupun wanita cenderung memproduksi bahasa yang memiliki kesesuaian dengan perasaanya. Sehingga jangan heran jika sebijak apapun seorang filsuf Ngaliyan bisa mendadak alay, lebay dan cenderung merayu saat telfon-telfonan dengan kekasihnya sembari klesotan dikamar kos. Ini serius ndan, bukan nggombal, tapi murni berasal dari deepest of his/her heart. Nah, sekarang si pujangga beruntung dengan variasi emot yang melimpah di semua akun socmed, jadi lebih banyak pilihan.


Kedua, bersifat Phoetic. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ini faktor penting dalam memikat lawan jenis dan mempertahankanya. Bahasa puitis juga dominan dalam pacaran, karena ini ibarat pupuk organik yang menenangkan dan membahagiakan. Setidaknya si dia bisa senyum-senyum sendiri dan memerah rona pipinya saat menerima teror puisi yang syahdu menyejukkan kalbu. Bahasa puitis tidak hanya muncul lewat puisi ndan, tapi tutur kata ilmiah yang nge-bla..bla, seperti yang dipraktikan oleh para punggawa.


Ketiga adalah bahasa Phatic, atau warga Ngaliyan lebih mengenalnya sebagai basa-basi. Pacaran itu sesungguhnya banyak phatic nya lho ndan. Misalnya pertanyaan-pertanyaan saat berkomunikasi seperti nyuwun sewu, kamu lagi apa? Udah maem belum?udah mandi belum? Udah diskusi dan baca buku belum?dlsb hehe. Hati-hati para gadis, sesungguhnya itu lebih bernada basa-basi dibanding keseriusanya dalam bertanya. Namun, bahasa phatic pun penting sebagai kunci hangatnya hubungan percintaan, atau memulai perjuangan pembribikan. Karena ibarat rokok, bahasa phatic adalah pembuka percakapan yang paling efektif.


Keempat adalah Eufemistik. Nah, model bahasa seperti ini juga ditemukan dalam komunikasi pacaran. Eufemisme atau penghalusan pernah penulis temukan dalam aktivitas pacaran teman sekamar kala itu yang kini sukses menjadi owner TrosoArt, ndan Eko Supraptio. Misalnya kata makan siang jadi maem tiyang, kata raup-raup jadi laup-laup, semangat jadi cemungut, atau pada proses pemilihan kata dan kalimat yang halus saat bercakap dengan kekasihnya, tidak misuh, ngece sampai pada penggunaan bahasa Jawa yang sangat halus.


Kelima adalah bahasa Figuratif. Sifat bahasa jenis ini biasanya menyertai puisi atau ungkapan-ungkapan merayu lainya. Bahasa majas tersebut menjadi modal komunikasi yang efektif pula dalam aktivitas ta’arufan tadi. Kadang bisa hiperbolik (lebay) seperti puisi diatas, atau metaforis seperti pada perumpamaan-perumpamaan yang menyertai aktivitas nge-gombal. Atau melalui ironi-ironi cinta yang terbahasakan melalui sindiran-sindiran yang menjurus pada motif tertentu (mbuh bener gak kwi).


Demikian tadi ndan uraian singkat nan ngawur dari penulis, tapi percayalah beberapa sifat bahasa diatas tidak ada yag merugikan sama sekali, karena tidak bernada terorisme verbal seperti yang penulis akan uraikan dalam artikel berikutnya. Justru, beberapa sifat diatas akan melanggengkan hubungan percintaan yang telah terjalin, atau membantu kaum jomblo Ngaliyan agar lekas mendapatkan pujaan hatinya sebelum disuntik mati oleh pemerintah melalui RUU Negara Anti Jomblo Ngenes yang sedang digodog di Kucingan Songo, hehe. Semoga Beruntung.

 Penulis: Mohammad Andi Hakim 
Anggota Walisongo Journal Department, Faculty Member. Studies Linguistics, Critical Discourse Analysis, and Education.
UIN Semarang



EmoticonEmoticon