Pressiwa.com - Kamir memang makanan khas Pemalang. Tapi makanan yang berasal dari Arab itu sebetulnya tidak hanya ada di Pemalang saja. Kue kamir hanya varian dari kue hummus, kue manakeesh, dan kue mandee yang cita rasanya sama-sama hampir mirip.
Ketiga kue itu dibuat dengan bahan berupa parutan kelapa, tepung terigu, “racikan khusus” pengembang kue, dlsb yang dimasak dengan cara di panggang pada wajan khusus. Namun sejatinya bahan-bahan berupa tepung terigu (beras) tidak dikenal dalam tradisi kuliner Arab.
Lalu sejak kapan tradisi kue kamir persisnya masuk ke Pemalang ? Alkisah pada sekitar Abad ke-18. Tanah Jawa “digeruduk” oleh para imigran asal Hadramaut ( provinsi di Yaman).
Mereka datang ke tanah Nusantara untuk melakukan perdagangan. Pertama kali tiba di Nusantara para imigran Arab itu mendarat di Banten, Semarang, Tegal, Cirebon, dan Pemalang. Maka sejak saat itulah mulai muncul kampung-kampung Arab di Nusantara.
Mereka yang hidup di daerah tersebut kemudian melakukan sinkretisme kebudayaan dengan masyarakat sekitar untuk membentuk kebudayaan baru. Mereka kemudian menciptakan kuliner yang dipadukan dengan lidah Jawa. Demikian seperti dikutip dalam buku Orang Arab di Nusantara, L.W.C den Berg.
Saat orang Arab tinggal di Pemalang. Pada mulanya ia hanya mau makan-makanan yang ia bawa dari negaranya saja. Seperti makan kurma, gandum, mentega, maupun labhah (yougurt tanpa lemak).
Uniknya, para pendatang Arab tidak ada yang membawa nasi pada waktu itu. Ini karena secara sosio-geografis Arab bukan penghasil padi. Jadi di Arab tidak mengenal padi.
Baru kira-kira akhir abad ke 18 nih, para imigran Arab kemudian “ujug-ujug” bayak yang membawa beras. Menurut sejarawan Alwi Shahab, para imigran Arab yang membawa beras itu bukan beras yang berasal dari Arab, tapi beras yang asalnya dari daerah Gujarat, India.
Mereka sebelum datang ke daerah-daerah di Nusantara seperti Pemalang, dan Cirebon memang “ngetem” dulu di India. Nah, saat para imigran Arab mulai membawa beras inilah awal mula kuliner kue Arab mulai dikenal di Nusantara. Salah satunya kue kamir.
Pada awalnya, kue kamir yang ada di Pemalang hanya dimakan pada acara-acara tertentu saja. Artinya tidak dimakan untuk situasi umum seperti sekarang.
Para imigran Arab memberikan hidangan kue kamirnya ini hanya saat hari raya Idul Fitri saja. Jadi semacam “kupatnya” Nusantara begitu. Baru setelah akhir abad ke 19 kue kamir mulai diproduksi untuk umum.
Kue kamir pada dekade ini mengalami “transformasi rasa”. Rasa yang identik dengan Arab seperti rasa pedas, dan penuh rempah-rempah di abad ini berubah menjadi lebih manis. Perubahan ini dilatar belakangi oleh orang-orang Pemalang sendiri yang ikut-ikutan “latah” membuat kue kamir.
Karena secara lidah orang Pemalang tidak terlalu suka rempah-rempah yang kaya inilah mengapa kue kamir mengalami transformasi rasa. Konon katanya, perintis kue kamir dengan rasa yang lebih manis dimotori oleh seorang perempuan bernama Ibu Aisyah.
Ia dulu tinggal di daerah Mulyoharjo, atau yang sering disebut sebagai kampung Arab. Tim Pressiwa yang dikomandoi oleh Rekka Hanabi pernah mewawancarai salah satu penjual kamir di desa tersebut.
Dan didapatkan keterangan bahwa kue kamir yang paling tua muncul di Pemalang adalah kue kamir dengan brand Cap Mawar. Kue kamir ini diketahui telah dipimpin oleh 6 generasi sejak awal kemunculannya.
Kue kamir Cap Mawar sekarang dikelola oleh ibu Tuffah. Jika brand Cap Mawar adalah kue kamir dengan merek tertua di Pemalang. Maka kemunculan kue kamir di Pemalang yang bercita rasa non-Arab di mulai pada awal abad ke 19.
Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa namanya tidak kue kamir India ya Lur ? Padahal di Arab sebelumnya tidak mengenal beras (tepung terigu). Tidak perlu dijawab, karena kalian pasti sudah tahu jawabannya.
EmoticonEmoticon