Pressiwa.com- Membahas seputar konflik, adalah sebuah hal yang melekat secara inhern, sama seperti Hak Asasi Manusia, khususnya pada diri manusia sebagai makhluk sosial. Kita sebagai manusia, tidak bisa lepas dari kodratnya yaitu menghadapi konflik, baik konflik pribadi maupun konflik dengan orang lain.
Penyebab konflik secara garis besar dibedakan menjadi 2 faktor penyebab, yaitu eksternal dan internal. Eksternal berhubungan tentang hubungan manusia dengan manusia lain, dan internal yaitu manusia dengan dirinya sendiri. Konflik sebagian besar lahir dari perbedaan atas ketidaksesuaian pemikiran dengan apa yang dihadapi.
Jika kita mengalami konflik dengan diri sendiri, konflik dengan ego dan dalam pandangan umum menentukan sebuah pilihan dalam hidup dengan mengikuti kata hati adalah sebuah nasehat yang diikuti banyak pihak, namun pendapat orang yang beragama dengan melakukan ibadah secara rajin adalah sebuah solusi. Dalam keluarga, menurut pandangan orang awam konflik adalah hal yang sangat mengganggu yaitu menjadikan tidak harmonisnya hubungan keluarga seperti sedia kala, produk yang dihasilkan dari konflik keluarga yaitu kekerasan dalam rumah tangga, dan berujung perceraia.
Meluas ke dalam masyarakat, konflik akan menjadi perpecahan yang mengancam keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Konflik yang paling banyak dialami manusia selama hidup sebenarnya adalah konflik peribadi dengan dirinya sendiri. Tetapi, konflik sangat menarik untuk dibahas yaitu konflik manusia dengan manusia lain. Dalam sosiologi bahkan terdapat bab khusus yang membahas seputar konflik dan cara mengatasinya. Sebelum membahas konflik secara global, alangkah baiknya kita memahami hakikat konflik dalam skala lokal.
Konflik secara penuh tidak bisa dihindari oleh manusia, namun bisa diminimalisir. Kinerja otak masing-masing manusia berbeda, pemikiran, sudut pandang juga tentu juga akan berbeda. Manusia yang mampu memahami perbedaan tersebut tentu akan paham, jika terjadi sebuah benturan baik pendapat, visi misi, yang bertolak belakang dengan apa yang ada dipikirannya tentu akan mengambil tindakan sebijak mungkin.
Hal paling utama tindakan tersebut adalah meminimalisir ego dalam diri. Jika mampu menerima pendapat orang lain dengan lapang dada maka konflik akan sangat minim untuk terjadi. Namun, dalam kasus lain jika dalam permasalahan terdapat sebuah pemikiran yang sama-sama kuat, sama-sama ngotot, sama-sama ngeyel, solusi yang harus ditawarkan dan dilakukan yaitu musyawarah mufakat.
Musyawarah mufakat adalah jiwanya manusia-manusia Pancasila, sehingga lahirlah sila ke-4 “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sebenarnya musyawarah adalah alternatif terbaik, namun kebanyakan segala konflik yang terjadi kini jalur peradilan menjadi pilihan untuk penyelesaian.
Seperti kutipan dari sang Proklamator, Bung Karno “Perjuanganku akan lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dari data yang diperoleh dari Statistik Kriminal Tahun 2014, kasus konflik masal yang melibatkan banyak masa Indonesia pada tahun 2005-2011 terus mengalami kenaikan dan yang terkahir sejumlah 2.562 kasus konflik. Dapat disimpulkan, potensi konflik yang terjadi di Indonesia masih dalam kategori yang cukup tinggi.
Bangsa Indonesia masih kurang menyadari identitasnya sebagai bangsa yang bersatu yaitu bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang sering terjadi di Indonesia diantaranya perang saudara, tawuran pelajar, konflik politik, dan sengketa tanah.
Terjadinya korban jiwa, harta benda, perang kepentingan, perselisihan terus menerus, dan yang paling mengancam kedaulatan NKRI adalah perpecahan yang berujung terbentuknya gerakan separatisme dan menuntut melepaskan diri dari wilayah Indonesia.
Mengapa paling mengancam? Karena hal tersebut bisa menjadi skala nasional dan kemudian kerugian yang terjadi akan semakin meluas dalam sektor keamanan, ketahanan, dan sektor lain.
Sebab lain yang menjadi potensi konflik adalah prasangka etnosentrisme yang masih mendarah daging adalah penyebab terjadinya konflik dalam negara kita. Digaungkannya pada pendidikan masa kini adalah dengan diimplementasikan pendidikan multikultur pada kurikulum, pendidikan ini bertujuan menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang toleran, bangsa yang menghargai orang di sekitarnya, dan menghargai perbedaan.
Menapaki sudut berpikir yang berlawanan, konflik sebenarnya memiliki dampak positif dalam diri sendiri begitu pula dalam masyarakat. Dengan adanya konflik, pribadi mampu berpikir secara kritis, terstruktur, dan solutif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Lebih tepatnya dengan adanya konflik dalam diri pribadi manusia akan menjadikannya sebuah pengalaman.
Konflik yang terjadi di masyarakat juga memiliki dampak positif, dengan terjadi sebuah konflik maka akan terjadi sebuah pola berpikir untuk mengatasinya secara bersama-sama dan kemudian terbentuk sebuah kesepakatan atau konsensus. Konflik yang terjadi dari ancaman luar dari sekelompok masyarakat, akan menjadikan masyarakat tersebut saling bersatu padu dalam melawan ancaman dari luar.
Sehingga kelak konflik akan dipandang menjadi wadah integritas terwujudnya keadaan aman, nyaman, tentram, sesuai cita-cita bersama bangsa Indonesia yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Indonesia itu dikenal dengan bangsanya yang ramah dan toleran. Maka dari itu setelah memahami makna dari konflik, sebab, dan cara meminimalisirnya, sebaiknya kita bisa lebih bijak dalam memenejemen diri. Setiap ada pertanyaan muncul, “Mau Indonesia bubar? Mau Indonesia perang?” pasti bakal terjamin tidak ada seorang pun yang ingin hal itu terjadi, khususnya bangsa Indonesia sendiri.
Konflik akan terus lahir, konflik pula yang akan merubah cara berpikir kita untuk menyelesaikan masalah. Jadi, sebagai bangsa yang kaya akan heterogenitas dan kemajemukan, sudah sepatutnya kita mampu menyikapi perbedaan itu secara bijak dan sebaik mungkin, demi terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan damai sejahtera hingga anak, cucu, dan cicit kita selanjutnya.
EmoticonEmoticon