Pressiwa.com - Saya sering mendengar kalimat semacam ini di hampir semua medium pop culture yang saya bisa jangkau. “Tenang, jumlah perempuan itu lebih banyak dari laki.”
Ceritanya, ini untuk menenangkan para jomblo yang resah bahwa mereka akan susah dapat jodoh. Disertai dengan beragam ceramah yang intinya bahwa “jodoh dah ada yang atur”. Miriplah dengan kalimat “rejeki dah ada yang atur” ketika kasus taksi online dan eksisting menyeruak beberapa waktu yang lalu.
Tapi, saya tertarik dengan statistik yang entah dari mana sumbernya ini. Apakah memang pernyataan ini benar atau tidak? Soalnya, kalaupun mau realistis, statistik ini agaknya meragukan saya. Seperti ketika saya sehari-hari amati di transportasi umum, dimana ada bagian perempuan dan bagian umum (yang mayoritas tentu diisi laki-laki).
Realistisnya, yang duduk dan berdiri di bagian umum jumlahnya lebih banyak daripada bagian perempuan.
Itu sama dengan lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Ya, yang saya ungkap ini mungkin statistik ngawur, karena bisa saja faktor luas bagian perempuan yang lebih sedikit daripada bagian umum. Tapi mari kita coba kupas berdasar data sensus penduduk di Indonesia.
Untuk mempermudah pemahaman, saya akan mematok statistik pada usia rata-rata menikah pertama kali (SMAM, Singulate Mean Age at Marriage) baik pada laki-laki ataupun perempuan.
Dari data sensus oleh Badan Pusat Statistik pada 2010, SMAM laki-laki berada di angka 25,7 tahun dan SMAM perempuan berada di 22,3 tahun. Kedua usia ini termasuk dalam usia yang diperbolehkan oleh pemerintah untuk menikah. Dengan demikian, usia yang saya ambil adalah usia 20-39 tahun, dimana usia ini adalah usia puncak pelaksanaan pernikahan, meskipun ada yang nikah dibawah umur ataupun diatas umur tersebut.
Masih berdasar data yang sama, pada usia 20-24, penduduk lelaki di Indonesia berjumlah 9,8 juta jiwa. Jumlah penduduk perempuannya sekitar 10 juta jiwa. Kemudian, usia 25-29, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan masing-masing berjumlah 10,63 juta jiwa dan 10,67 juta jiwa.
Jika pada usia dibawah 30 tahun, jumlah penduduk perempuan lebih banyak tipis daripada laki-laki, maka pada usia diatas 30, kondisi berbalikpun terjadi. Usia 30-34, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan masing masing 9,9 juta jiwa dan 9,8 juta jiwa. Pada usia 35-39, jumlah penduduk laki-laki dan perempuan masing-masing 9,3 juta jiwa dan 9,1 juta jiwa.
Dalam persentase, tak jauh-jauh dari angka 49% untuk nilai terendah dan 50% untuk nilai tertinggi. Dalam data perkiraan BPS tahun 2015, rasio penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia secara keseluruhan adalah 101 laki-laki perbanding dengan 100 perempuan.
Artinya, jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan. Terlihat, dari data sensus ini, sebenarnya kalaupun mau dilihat secara mutlak rerata se-Indonesia, tentu jumlah laki-lakinya lebih besar daripada jumlah perempuannya. Meskipun, dalam beberapa provinsi, jumlah perempuannya bisa lebih banyak dari laki-laki.
Rentang perbedaannya pun tak terlalu besar, sekitar 1-2%. Ini alasannya kenapa data ini masih bisa dianggap imbang. Jujur, data ini memang agak bikin ngeri para jomblo. Rentang perbedaan yang tak terlalu besar, memang. Meskipun persaingan jadi (((lumayan))) ketat.
“Jodoh itu udah diatur, semua dapet kok porsinya..”
Ya, kalimat ini lagi yang hanya bisa dikeluarkan. Semua pasti dapat. Dikira lagi rebutan barang kali, hehe.
Meskipun demikian, kengerian ini justru dipelihara oleh sebagian kalangan untuk bahan kampanye. Terutama kampanye “ngarep” ala agama. Kampanye “ngarep” ini bukan hanya terbilang sukses menanamkan kalimat-kalimat tadi, namun juga sukses membuat orang berpikir untuk nikah karena menyatakan "kesahihan" kepastian cinta.
Alasannya, menghindari zina. Sebuah alasan klasik, tapi saya masih menganggapnya wajar selama bukan pemaksaan, apalagi dianggap sebagai sebuah satu-satunya penyaluran jiwa muda yang dibenarkan.
Nikah, memang mudah. Menurut akun-akun pendakwah nikah muda, atau lebih tepatnya "nikah lebih baik dari zina", syaratnya hanya 5. Atau, lebih tepatnya bisa disebut rukun. Nikah itu tak susah.
Tak perlu macam-macam. Tak perlu pesta, tak perlu gedung resepsi, tak perlu harta melimpah, tak perlu ini, tak perlu itu. Soal kehidupan setelah menikah, Insya Allah rejeki dimudahkan selama diniatkan hanya untuk Allah. Yap, “rejeki dah ada yang ngatur”.
Memang, acara pernikahan di negeri ini kebanyakan (berharap bisa) menjual hal-hal yang kadang-kadang "wah" secara fisik, dari gelar sarjana kedua pasangan di undangan, acara resepsi yang besar dan mewah (jadi keingat pernikahannya Raffi dan Gigi kalau yang ini) dan hal-hal "wah" lainnya. Demi gengsi keluarga, tepatnya.
Tentu bisa dibayangkan untuk mencapai sebagian besar "wah" ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Adagium "tak ada yang gratis" akan sangat berlaku disini. Tak heran cukup banyak orang yang memilih menunda menikah hanya karena soal ini.
Poin inilah yang akhirnya menjadi jualan akun-akun tersebut. Oke, memang tak perlu terlalu fokus memikirkan hal itu demi "kepastian" cinta. Bisa kemudian acara pernikahannya dibuat secara sederhana.
Namun, tantangan demi tantangan dalam pernikahan baru akan dimulai. Termasuk juga soal rejeki alias uang (meskipun rejeki sebenarnya tak sesempit pemaknaannya seperti itu), yang kadang-kadang menjadi sumber keributan dalam rumah tangga. Meskipun rejeki sudah ada yang mengatur, tetap mesti diusahakan, betul?
Siapapun berhak untuk memilih pacaran atau nikah muda.
Siapapun juga berhak untuk nikah muda atau nikah di umur matang. Toh, apalah arti sebuah angka. Namun, pemahaman yang benar dan berimbang akan lebih baik dikedepankan, atau setidaknya kita mencari pemahaman dalam dua sisi, sehingga kita benar-benar bisa memutuskan apa yang terbaik buat kita.
Bukan karena peristiwa seorang penghafal Al Quran lulusan teknik yang bikin patah hati tingkat-tingkatan di medsos pas pernikahannya ataupun godaan teman-teman dan lingkungan sekitar. Karena kebahagiaan kita ada dan untuk kita sendiri.
Kita memang sebenarnya mesti berpikir soal mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Saya menulis ini bukan mendorong tindakan zina. Namun, tentu seperti perintah agama (karena mereka memakai pendekatan agama), pilihannya hanya 2: puasa atau nikah. Ada juga pilihan-pilihan lain yang bisa dipilih, tergantung pada pemikiran masing-masing.
“Kalo masnya sendiri?” Kalau saya sih, memang masih mau sendiri dulu. Saya masih butuh waktu buat lebih banyak berpikir dan bekerja. Entah kapan bisa membuka hati. Hehehe.
EmoticonEmoticon