Pressiwa.com - Dunia internet gempar oleh klaim John Titor, pada tahun 2000, yang mendaku bahwa dirinya tiba dari masa depan. Ia diutus kembali ke 1975 untuk mengambil sebuah komputer IBM lawas yang mendadak dibutuhkan demi menuntaskan masalah yang terjadi pada tahun 2036. Titor singgah sebentaran di tahun 2000-2001, akunya, untuk menengok keluarga. Sontak, orang-orang yang terbelalak memberondong pertanyaan, mulai dari soal keadaan bumi di masa depan – ia dianggap ahli nujum – sampai, barangtentu: perihal mesin waktu yang ia pakai.
Masalah kisah ini seratus persen nyata atau bualan, bolehlah dipinggirkan. Fiksi/faktanya cerita itu laris manis sebagai buah bibir justru menabalkan asumsi, bahwasanya: cita-cita melintasi, mengakali, dan mengadali waktu adalah asa tersisa yang masih terpacak di langit dan tetap digandrungi umat manusia.
Berawal tahun 1895. Wacana soal mesin waktu pertama kalinya menggugah manusia gara-gara buku Time Machine karangan H.G. Wells di Inggris. Tepat satu dasawarsa berselang, manusia terjenius seantariksa, Albert Einstein, mencetuskan teori relativitas umum dan khusus yang menyiratkan kemungkinan manusia mengadali waktu.
Kini, belum genap setahun lalu, rumus secara matematis-teoretis yang mendukung cara kerja mesin waktu telah ditemukan oleh Ben Tippett, instruktur matematika dan fisika di University of British Columbia Okanagan. Bagaimana rumusnya, cara kerjanya, atau siapa gerangan Pak Tippett, kita doakan saja keselamatan dan keberhasilan untuknya, andai Anda kelewat malas – seperti narator Anda ini – untuk mengeklik pranala berikut.
***
Voila! Entah sudah berapa tahun rak lemari belajar ini puasa cahaya, padahal tidak dikunci. Mungkin takkan dilongok lagi kalau bukan gara-gara mau pindah rumah, sehingga Bunda bertitah: bereskan! Buku-buku cetak menumpuk, buku-buku gambar berbaris, kertas-kertas ulangan kocar-kacir, dan tentu saja buku-buku tulis bertindihan. Buku tulis paling atas ada di posisi telungkup, sampul belakangnya beraksara “SINAR DUNIA” dengan selonjong bola di balik tulisannya. Ketika diambil lalu dibalik, selembar kertas sampul-wajib menyapa, lengkap dengan tinta pulpen di bawahnya bertuliskan keterangan nama dan kelas, lalu “Matematika (PR)”.
Rupanya, saya sengaja meletakkannya telungkup agar sampul wajib bagian depan tidak hilang seperti nasib bagian belakangnya. Apa pun cara, dulu, pasti dilakoni agar buku tulis – khususnya bagian depan – tetap bersampul. Membiarkan buku tulis, apalagi buku PR Matematika – yang paling sering dikumpulkan – tak bersampul, berarti melenceng dari keseragaman yang menjelma entitas wajib kala dulu SD.
Memang, menjadi “lain” – selain buku yang telanjang, kemeja hari Senin yang beli di toko lain (dilihat dari logo saku), sampai melahap bekal kala kawan-kawan lainnya jajan di kantin – akan berakhir nyinyiran keroyokan oleh sesama anak SD. Dus, hanya segelintir anak SD yang bisa lapang dada saat ditertawakan, dan saya bukan anak itu.
Sambil bersila, penjelajahan buku PR Matematika berlanjut. Halaman pertama, guratan huruf dan angka-angka menghiasi halaman yang bergaris-garis. Ini pasti latihan mengerjakan soal dari LKS (lembar kerja siswa). Romawi I pilihan ganda, romawi II isian. Corat-coret hitung-hitungan melela di sisi bawah halaman yang agak lengang, meniban logo Sinar Dunia. Nah, kenapa pula ini sudah kelas IV masih pakai pensil; oh, pasti, supaya jika salah bisa dihapus. Kalau sudah yakin, baru ditimpa tinta pulpen.
Keputusan memakai pulpen adalah salah satu keputusan paling mencemaskan. Semacam tersisip amanah di setiap goresnya, bahwa saya bukan anak kecil lagi, tak boleh salah karena hanya bisa dihapus dengan tipeks – yang dilarang – atau setetes ludah. Seingat saya, di dalam kotak pensil, pulpen yang ujungnya bopeng-bopeng lantaran dikunyah-kunyah selalu ditemani pensil, beberapa batang.
Ada yang berwarna merah-hitam dengan bagian pangkalnya bercokol setip yang dihubungkan dengan lempeng besi. Di batangnya, terukir huruf Cina berwarna emas. Ada pula pensil hijau tua yang marak dipakai kelak waktu EBTANAS/UASBN. Sementara itu, setip kerapkali lupa terbawa. Bila begini, setip pun sanggup mengasah ketangkasan bermain basket. Entah, anak-anak SD hobi betul meminjamkan benda dengan cara melempar dan setip paling sering jadi bolanya.
Halaman dua. Romawi III, soal cerita, dengan jawaban mesti pakai format “jawab:; jadi:”. Pada bagian “jadi:”, jawaban ditumpahkan dalam aksen huruf sambung. Amboi… Ini dia salah satu atribut penegas “kelas sosial” waktu SD. Semakin indah, semakin senang Ibu Guru, dan kans dilambungkan oleh puja-puji darinya kian besar.
Sedikit banyak, kepiawaian menulis indah menjamin mandat istimewa sebagai penyalin catatan Ibu Guru di papan tulis. Masa bodoh sepulang sekolah harus meminjam catatan teman semeja, atau kawan lainnya bila hubungan dengan teman semeja tak begitu rukun.
Soalnya, acapkali, teman semeja ditentukan oleh Ibu Guru. Selain agar kenal-mengenal, juga supaya jarak antarmurid bangor kain jauh – tak mengeriap di pojok belakang. Sudah pasti, si teman semeja yang baru ialah antitesisnya: tekun, mingkem, doyan memanggil bala-bantuan, “Buuu, saya digangguin, Buuu!” Apabila saking merasa risih, kadang tempat pensil diletakkan melintangi tengah-tengah meja sebagai demarkasi yang haram diterobos.
Masalah tambahan muncul kalau ia duduk di sebelah kanan, dus lumayan aktif bolak-balik badan mengobok-obok tas di balik punggungnya. Secara matematis, peluangnya menyenggol tangan kanan membesar dan itu maknanya: kecoret.
Tiada momen kecoret yang lebih menggeramkan tinimbang saat ulangan dan latihan menulis sambung di buku latihan khusus. Susah-payah tahan napas, menajamkan pandangan tanpa kedip agar tiap lengkungnya menyundul garis secara presisi, hanya dengan sejurus gerakan akrobat dari pihak sebelah kanan, kecoret. Sulit benar mengampuninya, apalagi jika latihannya sudah masuk tahap: pakai pulpen.
Memiliki tetangga semeja yang demikian bak malapetaka. Hasrat anak nakal terus saja menjompak, mendesak kaki agar pindah kursi atau minggat sebentar buat sekadar jalan-jalan di kelas dengan alibi terklise, nggak kelihatan papan tulis.
Ah, ingin betul punya azimat pembeku waktu, supaya kekal masa-masa SD; dalam balutan seragam putih-merah yang dipadati canda, sore-sore main bola, betapa PR Matematika adalah cobaan berat.
Mendadak saya tersadar, bahwa penggalan-penggalan masa SD barusan mustahil lahir tanpa kertas. Mungkin, tanpa kertas, masa-masa SD cuma ceceran fase hidup yang datar, hambar, pucat, dan sepi – tanpa drama, rasa, warna, dan suara. Andaikan komputerisasi telah merambah sejak SD, mungkin kita takkan punya kenangan menggelitik soal cermin di rautan pensil yang dialihfungsikan menjadi periskop buat mengintip, sebab menulis jadi tak butuh pensil yang bisa tumpul atau patah.
Takkan pernah juga hinggap memori soal keusilan level jahanam ketika menempelkan pada punggung teman, tulisan: saya orang gila atau predikat memalukan lainnya; ingatan soal rasa bangga atawa resah tiada tara begitu hasil ulangan dibagikan; sensasi lengket krayon hasil bertungkus-lumus melukis dua gunung yang mengapit mentari plus dua bidang sawah yang menjepit seruas jalan di buku gambar A3.
Okelah, dagdigdug-nya menanti balasan surat cinta dari sang pujaan hati bisa disubstitusi oleh SMS atau media sosial. Tapi, mustahil menyetel dan memutar ulang lagi kekeh tawa serenyah bocah dulu saat memanggil dan mencemooh teman memakai nama orangtuanya.
Bila digitalisasi merembes ke dinding kelas-kelas SD, rapot akan dikirim langsung ke alamat e-mail masing-masing orangtua. Mana mungkin kita sanggup mencopet buku rapot untuk mengintip nama orangtua teman?
Apabila Google Classroom telah merebak waktu SD, aneka mainan legendaris akan punah, mulai dari “bantingan/tos-an” kartu Yu-Gi-Oh! – plus rasa getirnya saat disita; perahu layar di halaman sekolah yang digenangi hujan; pesawat terbang – dengan atau tanpa embusan jigong – kala Ibu Guru ke toilet; ular tangga, shuriken ninja, origami kodok, ABC lima dasar, dan satu permainan ini yang, rasanya, hanya akan dimengerti oleh murid laki-laki yang suka main (sepak)bola. Alangkah sayang.
Dari sono-nya, sepakbola mutlak menuntut sebidang tanah lapang, dua biji gawang, dan 22 orang yang bersirobok menguber kulit bundar dan memburu gol selama 90 menit. Namun demikian, kreativitas nirbatas bocah-bocah SD justru sanggup meniadakan seperangkat aturan tersebut tanpa perlu mengubahnya menjadi jenis olahraga lain.
Bocah-bocah SD menemukan, sepakbola mampu dimainkan berdua – atau lebih jika ada yang mau ikutan, tanpa lapangan, gawang, bahkan tanpa bola.
Sepakbola dimainkan di pantai; di jalanan; di dalam jiwa, ungkap Carlos Drummond de Andrade, penyair Portugis, dalam puisi Futebol. Kalau saja Pak Carlos ini berasal dari Indonesia, ia pasti akan menambahkan satu larik lagi: sepakbola dimainkan di dalam kelas.
Begini persiapannya: 1) cabik halaman tengah buku tulis yang ber-staples; 2) tiru dengan pulpen, garis-garis lapangan bola pada kertas; 3) lukis formasi 22 gambar orang yang akan menjadi pemain, dengan pose bebas; 4) siapkan pulpen dan penggaris.
Sudah? Suit, seterah, Indonesia atau Jepang, yang menang dapat giliran pertama “menendang”.
Caranya kira-kira: 1) tegakkan pulpen dengan matanya menempel pada seorang pemain; 2) beri dorongan agar pulpen tersungkur dan menorehkan secoret dawat sebagai jalur bola yang dikehendaki; 3) pakai penggaris guna “memanjangkan” jalur itu sampai membentur objek; 4) kalau membentur pemain setim boleh melanjutkan giliran menendang, bila sebaliknya ganti giliran; 5) terus begitu sampai pertandingan usai dengan peluit panjang yang disepakati (jumlah gol, durasi waktu, dentang bel ganti pelajaran) atau tak disepakati (kepergok Ibu Guru, diadukan teman sekelas, tinta pulpen lenyap).
Pemenangnya berhak atas privilese macam-macam: rasa bangga, legitimasi mengolok-olok yang kalah, sampai jatah traktiran lidi, es kiko, atau telor gulung depan sekolah. Kertas bekas pertandingan? Direnyek-renyek agar bulat, lantas dipertendangkan di koridor atau – bila terlalu ramai – ruang antara meja terdepan dan papan tulis. Begini-begini, bocah SD sudah kenal teknik daur ulang sampah
kertas.
***
“Udahan belum! Lama amat!” lengking Bunda menegur, menyergah gerombolan energi khas anak-anak yang tengah menggelegak. Sekonyong-konyong, sehelai roh serasa habis merampungkan perjalanan – atau tamasya – waktu, gegara lembaran kertas buku PR Matematika. Ciri-cirinya identik dengan perjalanan waktu yang dinubuatkan Einstein: waktu terasa melambat, padahal berlalu begitu cepat di tempat yang ditinggalkan. Pukul sembilan disuruh beres-beres hingga menemukan buku PR Matematika, nostalgia sejenak, sekarang pukul sebelas.
Kertas, jangan-jangan, ialah mesin waktu itu sendiri. Hipotesis ini rasanya berbalas anggukan Fujiko F. Fujio. Beliau telah jauh-jauh hari lebih dulu mendedahkan, bahkan, ihwal cara kerja hingga letak mesin waktu.
Dalam serial Doraemon yang supertenar itu, Nobita dan Doraemon dengan amat gampangnya merangsek ke dalam laci meja belajar, dengan beberapa kerjap mata, sukses mendarat di zaman dinosaurus dengan sehat walafiat menunggangi mesin waktu. Apa yang tersimpan di dalam laci meja belajar Nobita pasti tak jauh beda dengan apa yang mangkrak di rak lemari belajar saya: kertas. Bahwa Doraemon melakukan perjalanan ke masa lalu menggunakan mesin waktu di dalam laci, niscaya itu adalah kertas, atau sedikit memaksa, mesin waktunya terbuat dari kertas -- mungkin, origami!
Kertas memang mesin waktu. Pasti, kalau bukan gara-gara punya peran membawa pembacanya ke masa lampau – alih-alih sebatas nostalgia – lantas, untuk apa, segala bentuk penghancuran buku – yang tersusun atas kertas – sebagaimana yang dibabar oleh Fernando Baez, ahli pustaka asal Venezuela, dalam karyanya, Historia Universal De la Destruction De Libros?
Pak Baez mencatat, sejarah librisida/bibliosida – penghancuran buku – yang bertubi-tubi tanpa henti tidak dilancarkan oleh vandalis bodoh, melainkan orang-orang terdidik dengan motif ideologis. Adalah Kaisar Romawi, Julius Caesar, yang membumihanguskan 40 ribu pustaka di Perpustakaan Alexandria, Mesir; dan Zhao Zheng, pendiri Dinasti Qin, yang mengizinkan pemusnahan teks-teks Buddhisme yang dianggap mengusik ajaran Konfusianisme.
Rezim fasis Jenderal Franco pun enteng saja membakar 257 perpustakaan rakyat di Spanyol, pun rezim ultranasionalis Hitler, bahkan, memperoleh justifikasi ideologis dari Martin Heidegger, filosof eksistensialis Jerman, untuk mengenyahkan koleksi pustaka Jerman sendiri, Yahudi dan negara-negara yang dikuasainya. Belum lagi pemusnahan buku-buku oleh Gereja Katolik dan Khalifah Al-Mansur di Cordoba, Spanyol di Abad Pertengahan, yang divonis membahayakan iman.
Hampir kesemua usaha bibliosida, lanjut Pak Baez, tak pernah jauh-jauh dari tujuan mengendalikan memori kolektif masyarakat. Kita paham, istilah “memori” senantiasa berkelindan dengan masa silam, sejarah. Penghancuran buku, dengan begitu, halal ditafsirkan sebagai upaya menempa ingatan agar lupa, menyiram masa lalu hingga padam, dan mengguyur sejarah sampai luntur.
Akhirnya, sang pemenang – kita tahu adagium: sejarah ditulis oleh pemenang – berkuasa secara leluasa mencopot masa kini dari mistar sejarah, kemudian menulis sejarah versi sendiri usai melenyapkan pustaka (baca: sejarah). Bibliosida tak perlu repot-repot diperjuangkan andai kertas – yang menyusun buku – tak pernah punya tuah memboyong pembacanya menyejarah, menyelami kesilaman.
"Perjuangan manusia melawan kekuasaan ialah perjuangan melawan lupa!" - Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting Soeharto tahu betul rahasia ini. Namun, alih-alih membakar buku – yang berpotensi menelanjangi ke-fasis-annya pada dunia, Bapak Pembangunan menempuh strategi yang lebih elok: menciptakan ejaan (yang disempurnakan). Niat ini, bagi Om Ben Anderson, Indonesianis asal Irlandia itu, tak ayalnya bendungan yang mencegah masyarakat mengakses lagi kenangan-kenangan Orde Lama.
Ejaan Soewandi yang dipakai Orde Lama perlahan-lahan mewujud jejalan aksara yang menyusahkan untuk dibaca, sehingga lambat-laun, ditinggalkan.
Taktik cerdik Pak Harto bukan menghancurkan mesin waktu, tetapi mengutak-atiknya supaya ngadat.
Artinya, Sang Jenderal Besar tahu betul bahwa, ibaratnya kendaraan, mesin waktu (dalam hal ini: kertas yang menyusun buku) pasti punya suku cadang (dalam hal ini: tulisan dan ejaan) yang kalau dirusak, bakal menggagalkan fungsi mesin.
Dan negeri ini masih saja santai mengidap malfungsi literasi; penduduknya tak akrab dengan aroma kertas dan buku. Lalu, masih heran mengapa sejarah berulang?
EmoticonEmoticon