Pressiwa.com - Anggapan bahwa Pemalang berbahasa “Jawa ngapak” itu kurang tepat ya saya kira. Orang-orang di kota Pemalang memang sering dianggap masuk dalam rumpun bahasa “Jawa ngapak” oleh orang-orang luar kota lantaran letak geografisnya yang lumayan dekat dengan tuturan induk dialek ini yaitu Banyumas, dan Purbalingga.
Seperti kita ketahui “bahasa Jawa ngapak” itu identik dengan penggunaan fonem [a] dan tonality nada bicara yang cukup cepat dan ber fonetis tebal, berbeda dengan bahasa Jawa non-ngapak seperti Surakarta yang banyak menggunakan fonem [o] dan berfonetis tipis. Logat ini, mempunyai struktur dan pembagian laksem (gaya) yang bermacam-macam.
Logat atau dialek merupakan gaya bahasa suatu daerah di Indonesia. Misalnya, logat bahasa Jawa Indramayu yang merupakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Sunda, logat bahasa Sunda dari Banten, logat bahasa Jawa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon. Demikian dikutip dalam buku Foklore Indonesia, James Danadjaja.
Kenapa saya menganggap Pemalang tidak “murni ngapak” ? Alasanku karena letak Pemalang ini sangat strategis dengan dikelilingi oleh beragam isolek bahasa Jawa dari kota-kota sekitar.
Pemalang berbatasan dengan kabupaten yang mempunyai dialek bahasa Jawa yang berbeda-beda.
Sebagai kita tahu ragam dialek dalam bahasa Jawa itu diantaranya dialek Pekalongan, dialek Kedu, dialek Bagelen, dialek Semarang, dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati) dialek Blora, dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek Madiun, dialek Banyumasan (Ngapak), dan dialek Tegal-Brebes. Nah, Pemalang itu di kelilingi oleh dialek Pekalongan, dialek Tegal, dan dialek Banyumasan (ngapak).
Inilah yang menyebapkan tiap-tiap kecamatan atau kawasan urban maupun daerah rural (pedesaan) di Pemalang mempunyai dialek yang berbeda-beda. Misalnya saja di Kecamatan Petarukan, di kecamatan ini dialek ngapak seperti dialek Banyumas berbeda sekali, orang-orang di Kecamatan Petarukan banyak menggunakan fonem [o] dalam setiap kosa katanya. Misalnya pada tuturan [kowe lagi opo?], [ojo koyokui kambi bapakmu ], dlsb. Penggunaan fonem [o] ini lantaran Kecamatan Petarukan hingga ke Kecamatan Ulujami berdekatan dengan Kabupaten Pekalongan yang mempunyai dialek sendiri.
Dialek lain lagi yang berbeda yaitu di Kecamatan Pemalang terutama di Desa Saradan, dan Desa Sewaka,
Di desa ini dialeknya banyak menggunakan fonem [e] atau e pepet dalam setiap kosakatanya. Jika didengar secara fonologis. Cara bicaranya seperti orang-orang Malaysia yang melafalkan fonem [e] secara di tahan. Misalnya [kowe lagi ape?], [aje kaya kuwe maring bapakmu], dlsb.
Selain itu berbeda lagi dengan dialek di Desa Pelutan yang dekat dengan Kota Tegal. Hal yang paling terlihat adalah adanya penambahan kata [ra] dan [ganing] dalam akhir kalimat. Misalnya [aja kaya kuwe ra] [enyong kei jajane ra] [ganing, sampeyan kaya kue], dlsb.
Sedangkan daerah di Pemalang yang benar-benar terdengar murni sebagai Jawa ngapak seperti cara bicaranya orang Banyumas yang tekenal akan ke lucuanya. Hanya ada di Kecamatan Belik dan Pulosari. Di kecamatan ini banyak menggunakan fonem [a], tonality (nada bicara) nya cepat, dan kesaman kosakatanya. Misalnya pada ujaran [ aja kayakue maring ramamu], [uwis mangan durung mbok], [regane pira segane] dlsb.
Jadi Pemalang ini menurutku tidak bisa di “gebyah uyah” sebagai kawasan yang berlogat “ngapak murni” karena dikelilingi oleh kota-kota yang mempunyai dialek berbeda-beda, setiap kecamatan di Pemalang logatnya tidak sama. Hanya kawasan Pemalang Selatan seperti kecamatan Belik dan Pulosari yang logatnya benar-benar terdengar ngapak seperti cara bicaranya orang-orang Cilacap, Purbalingga, maupun Banyumas, di kecamatan lainya sudah tak terlalu terdengar ngapaknya karena mengalami reduplikasi setelah terpengaruh dialek Tegal, dan Pekalongan.
Begitulah kira-kira, sekelumit dialek bahasa Jawa di Pemalang yang sangat unik dan beragam. Kalau pembaca Pressiwa termasuk jenis ngapak yang mana.
EmoticonEmoticon