Anggapan bahwa sejarah di buat “oleh pemenang” itu memang benar. Narasi sejarah dalam hal ini akan condong menceritakan kebaikan tokoh tertentu yang dianggap berjasa atau bahkan seorang kriminal pada konteks sosio-cultural setempat. Narasi sejarah juga bersifat local-terbatas. Karena narasi sejarah bersifat local-terbatas inilah seseorang yang pada sejarahnya dianggap tokoh pahlawan yang baik oleh negeri setempat, namun bisa saja justru dicaci maki bak seorang penjahat bengis di negeri lain.
Dalam hal ini contohnya adalah Presiden Pertama kita Soekarno. Jika di negeri sendiri, siapa sih yang tidak mengakui Soekarno sebagai pahlawan yang ikut berperan andil dalam memerdekakan Indonesia, hampir seluruh Rakyat Indonesia mengakui hal itu, bahkan saking “ngefens” nya masyarakat kita terhadap Soekarno sampai-sampai kita “mengkultuskannya” sedemikian rupa lewat penggambaran patung-patung, poster-poster, dan hal-ikhwal tentang Soekarno yang biasanya di catut oleh partai-partai tertentu untuk mendulang suara kaum nasionalis.
Walaupun pengkultusan itu sama sekali tak bermanfaat. Adanya pengkultusan itu justru berakibat melupakan esensi ajaran-ajaran Soekarno. Seperti marhaenisme, manipol usdek, ekonomi kerakyatan, resopim dlsb.
Begitu tingginya jasa Soekarno atas jasanya mendirikan negeri ini, serta dianggap pahlawan yang sangat baik oleh masyarakat Indonesia. Ternyata berbeda 180 derajat di pandangan sebagian Masyarakat Malaysia. Ketika nama Soekarno terdengar di Malaysia. Penerimaan sebagian masyarakatnya menganggap bahwa dia adalah tokoh fasis dan pemberontak.
Hal mengagetkan ini didapatkan ketika saya menanyakan tentang Soekarno kepada teman yang dari Malaysia di sebuah seminar BIPA( Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing) di kampus UNS. Walaupun saya seorang Soekarnois, dan sangat menyukai beberapa ajaran Soekarno yang masih relevan, saya tidak menaruh benci ataupun marah-marah terhadap teman saya dari Malaysia itu yang menarasikan Soekarno sebagai tokoh Fasis maupun pemberontak, marah saja tidak apalagi sampai adu jotos. Kalau itu terjadi. Wah, “bisa benjut rek”.
Kelumrahan Sejarah
Kelumrahan itu muncul, lantaran saya mengetahui bahwa di era akhir kekuasaan Soekarno, Pemerintah Indonesia saat itu melakukan konfrontasi dengan Malaysia atas respon dibentuknya Persemakmuran Inggris di tanah Melayu, Soekarno mengangap, dijadikanya Malaysia sebagai boneka Inggris ini tak lain untuk menekan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, alasan lainya dikarenakan banyaknya provokasi penginjakan, dan pembakaran bendera Merah Putih, serta foto Soekarno oleh sebagian Masyarakat Malaysia.
Konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia ini mengakibatkan peperangan yang cukup sengit dan banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak, Indonesia dalam mengobarkan peperangan kala itu menggunakan jargon “Ganyang Malaysia ” yang masih popular sampai saat ini.
Lantaran Soekarno dianggap sebagai tokoh yang menyulut peperangan dan melakukan invasi terhadap Malaysia inilah yang membuat narasi sejarah Soekarno di Malaysia berbeda sangat jauh dengan Indonesia. Jika diistilahkan dengan peribahasa rumput tetangga lebih hijau, dimana tokoh dari luar negeri biasanya di elu-elukan. Namun tidak berlaku dengan Soekarno dimata tetangga Malaysia. Kalau boleh saya membuat istilah lain, peribahasa yang cocok disematkan Soekarno di Malaysia yaitu “rumput tetangga lebih amburadul”. Semoga tidak di semprit Badan Bahasa hehe.
Contoh kesubjektifan sejarah yang telah dinarasikan lain bisa ditemui dalam sastra Epos India ( Ramayana, Mahabarta. Dalam kisah Ramayana para akademisi sastra terjadi dualisme interpretasi. Sebagian ada yang menganggap bahwa Rama Wijaya adalah pahlawan, ada juga yang menganggap bahwa pahlawan sesungguhnya adalah Dasamuka.
Para Sarjana Sastra yang menganggap Dasamuka sebagai pahlawan tentu berdasarkan “temuan sejarah” bahwa Dewi Sinta yang diculik olehnya. Tetapi masih dalam keadaan suci(perawan). Dan karena Dasamuka dibela oleh rakyat Alengka Diraja (manusia), bukan dibela oleh binatang kera/ketek putih seperti pada kerajaan Ayodya yang dipimpin Rama Wijaya.
Ada lagi tokoh Hitler, pimpinan partai Nazi, Jerman yang dianggap sorang fasis dan penjahat bengis oleh Masyarakat Jerman dikarenakan perbuatannya yang telah meng-genosida ras Yahudi. Maka berbeda terbalik dengan sebagian masyarakat di negara-negara Muslim yang menganggap bahwa Hitler sebagai pahlawan, Terutama Muslim Puritan.
Alasanya dikarenakan Hitler telah meng-genosida ras tertentu yang di anggap sebagai musuh agama, walaupun saya menolak anggapan ini. Bagiku Hitler tetaplah seorang penjahat. Apapun ras dan sukunya, “genosida” terhadap manusia tidak dapat dibenarkan.
Dua contoh di atas menunjukan bukti bahwa sejarah yang telah dinarasikan akan bersifat subjektif tergantung siapa yang menceritakanya. Umumnya, para penguasa dan pemenang peranglah yang berhak menceritakan sejarah itu ke arah mana. Namun dalam dunia kesejarahan ada metodologi historiografi yang dipertanggung jawabkan. Perumusan kembali narasi sejarah tidak asal-asalan, harus ada bukti berupa temuan sejarah. Seperti artefak, manuskrip, kitab kuno, prasasti, dlsb yang berhubungan dengan “temuan sejarah.”
Jika belakangan negeri ini dibuat gaduh oleh perdebatan isu CIA yang bermain dalam peristiwa G30S/PKI, atau sejarah kenaikan Cukai Rokok . Hendaknya pembaca Pressiwa disikapi dengan bijak, serta dengan pikiran yang waras dan terbuka. Karena apapun objek sejarahnya, sejarah akan selalu menghadirkan dua wajah yang berbeda.