Saya termasuk orang yang tidak habis pikir, kenapa kelas menengah di Indonesia mudah sekali melempar kekeliruan pada satu orang. Sedikit-sedikit salah Jokowi. Sedikit-sedikit pasti ulah Prabowo. Bagi yang anti-Ahok, semua yang kesalahan yang terjadi akibat ulah Ahok. Sebaliknya, bagi yang anti-Anies Baswedan, ban motor bocor pun mungkin dianggap kesalahan Anies. Semuanya mau dibikin anti.
Tapi saya mulai sadar. Sebetulnya bibit fasisme semacam itu di kepala kebanyakan dari kita punya sejarah yang panjang. Sekali meyakini sesuatu, maka itulah kebenaran paripurna. Tidak mau menerima atau setidaknya menelaah perkembangan terbaru, mengkritik fenomena tertentu, atau bahkan menusuk sampai ke sikap kritis: jangan-jangan ada sesuatu di balik hal anti tertentu.
Segala hal yang sudah dianggap final adalah musuh utama pikiran waras. Tapi, kita memang suka yang final-final. Nggak pakai mikir lagi. Malas memikirkan sesuatu. Kemalasan seperti ini tentu bisa berakibat tidak baik. Apalagi jika menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Apalagi jika menyangkut hajat hidup orang banyak. Anti itu membunuh nalar.
Mari kita mulai dari hal yang sederhana. Hal yang sudah kita ketahui dinamikanya dari dulu sampai sekarang sehingga mudah menarik poin-poin pelajarannya.
Bagi Anda yang berusia 35 sampai 45 tahun mungkin juga mengalami hal ini. Dulu waktu saya duduk di bangku SD, antara kelas 4 dan 5, ada petugas puskesmas datang secara reguler ke sekolah saya untuk bicara bahwa minyak kelapa itu tidak sehat. Saat itu di kampung saya, hakulyakin 90 persen pengguna minyak goreng memakai minyak kelapa, yang 10 persen memakai pasir untuk menggoreng bahan makanan. Semoga Anda tahu kalau pasir bisa dipakai untuk menggoreng.
Di buku-buku pelajaran, isu dan tema itu juga ada. Bahkan di dalam soal THB (Tes Hasil Belajar). Sampai mungkin akhir SMP, berita soal tidak sehatnya minyak kelapa sering saya baca di koran dan saya dengarkan di radio.
Tentu saja saat itu saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa mengingat dengan baik hal itu.
Dua puluh tahun lebih kemudian, saya baru mengerti kalau ada komoditas penting kita yang hancur: kopra. Ternyata proses penghancurannya persis di era ketika saya kecil sampai remaja.
Dua puluh tahun lebih kemudian, saya baru mengerti kalau ada komoditas penting kita yang hancur: kopra. Ternyata proses penghancurannya persis di era ketika saya kecil sampai remaja.
Tiba-tiba lima belasan tahun yang lalu mulai ada berita-berita yang melansir penelitian bahwa minyak kelapa justru minyak yang paling sehat selain minyak zaitun. Pelan-pelan minyak kelapa dicari dan dikonsumsi lagi. Poin pentingnya adalah seandainya tidak ada isu minyak kelapa itu buruk bagi kesehatan, yang dilakukan secara masif, Indonesia sebagai negara tropis dan salah satu yang punya garis pantai terpanjang di dunia pastilah sudah punya Industri minyak kelapa yang berkembang pesat, yang seluruh rantai ekonominya nisbi sentosa.
Itu soal minyak kelapa. Pelan-pelan kita masuk ke isu yang lain. Isu kopi.
Itu soal minyak kelapa. Pelan-pelan kita masuk ke isu yang lain. Isu kopi.
Apa yang terjadi pada minyak kelapa juga terjadi pada kopi.
Sekira 25-an tahun lalu, kopi juga kena isu sebagai minuman tak sehat. Bahkan perdebatannya sampai pada halal atau haram. Kalau dulu ada orang sakit, standar nasihat yang diberikan adalah jangan minum kopi. Jauhi kopi. Kalau perlu anti terhadap minuman itu.
Sekira 25-an tahun lalu, kopi juga kena isu sebagai minuman tak sehat. Bahkan perdebatannya sampai pada halal atau haram. Kalau dulu ada orang sakit, standar nasihat yang diberikan adalah jangan minum kopi. Jauhi kopi. Kalau perlu anti terhadap minuman itu.
Namun, beberapa tahun terakhir, kopi berubah menjadi minuman sehat. Kalau Anda mau berolahraga, malah disarankan minum kopi terlebih dahulu. Bahkan sekarang, di beberapa rumah sakit sudah ada kedai kopinya. Rasanya rumah sakit itu kurang keren kalau tidak ada kedai kopinya.
Mari kita lanjutkan lagi. Ya, persis. Dugaan Anda benar. Kita masuk ke isu rokok.
Kita mulai dari yang ringan dulu. Tujuh atau delapan tahun lalu saya termasuk ikut mengingatkan bahwa agenda di balik perang melawan rokok sebetulnya soal perang dagang. Perang dagang antara industri farmasi versus industri rokok. Keduanya sama-sama menggunakan nikotin.
Mudahnya kira-kira begini: rokok harus dianggap jahat. Agar bisa sembuh dari merokok, konsumsilah nicotine replacement therapy (NRT).
Dulu banyak orang nggak percaya. Lalu apa yang kita saksikan hari ini? Di sebuah konferensi penting yang digelar lembaga antirokok, jelas tertera di situ: mendorong NRT agar didukung oleh pemerintah. Supaya harganya kompetitif, rokok harus dimahalkan atau harga NRT diturunkan.
Ujungnya: dulu ramai-ramai dibilang tidak mungkin jualan NRT, ternyata sekarang mulai jujur dan terbuka. Nggak percaya? Buka saja tautan situs webnya.
Ujungnya: dulu ramai-ramai dibilang tidak mungkin jualan NRT, ternyata sekarang mulai jujur dan terbuka. Nggak percaya? Buka saja tautan situs webnya.
Berhenti dulu di sini. Pelan-pelan.
Dulu, pertarungan keduanya itu sempat mentok. Kenapa? Karena di Amerika dan Eropa sana, awal mula perang nikotin ini, merokok dianggap sebagai kebebasan individu. Toh kalau anggaplah tidak sehat, maka itu pilihan bebas individu. Hampir sama logikanya dengan miras.
Antirokok pusing. Berpuluh tahun isu itu tidak bisa ditembusnya. Bisnis terancam gagal. Tapi, ndilalah, otak mereka meletik; mereka menemukan sesuatu yang sangat penting, yang mengubah dinamika perang nikotin ini. Apa itu: perokok pasif atau second hand smokers.
Kira-kira begini: merokok itu bukan pilihan bebas karena ada asap yang terhirup oleh orang lain. Ada orang yang terpapar asap rokok.
Isu itu mengubah dengan cepat konstelasi pertarungan. Pabrik rokok dianggap sebagai setan (termasuk petani tembakau). Dan tentu saja industri farmasi dianggap sebagai malaikat. Hukum ekonominya jelas: kalau malaikat mau eksis dan dibutuhkan, dia butuh setan.
Singkirkan dulu pertanyaan nakal Anda: kenapa kok asap rokok saja, kenapa tidak asap pabrik dan asap knalpot?
Saking ampuhnya isu ini, hampir setengah abad mewarnai perang nikotin ini. Bahkan saking berhasilnya, evolusi isunya pun menanjak: perokok pasif lebih berbahaya dibanding perokok betulan. Bahkan sampai kepada third smoker alias perokok terpapar ketiga. Apa maksudnya? Silakan berselancar di dunia maya.
Istilah itu pengandaiannya begini: kalau ada perokok merokok di luar rumah, lalu dia masuk ke dalam rumah, maka baju, mobil, jaket, atau apa pun yang terkena paparan asap rokok akan meracuni. Jaket perokok, baju perokok, kopiah perokok, sarung perokok, mobil perokok, semua berbahaya. Harus dijauhi.
Istilah itu pengandaiannya begini: kalau ada perokok merokok di luar rumah, lalu dia masuk ke dalam rumah, maka baju, mobil, jaket, atau apa pun yang terkena paparan asap rokok akan meracuni. Jaket perokok, baju perokok, kopiah perokok, sarung perokok, mobil perokok, semua berbahaya. Harus dijauhi.
Masalahnya adalah penelitian tentang perokok pasif ini ternyata masuk dalam kategori junk science. Bahkan beberapa tahun terakhir berbagai jurnal ilmiah sudah membatalkan dan merevisi soal perokok pasif ini. Apalagi perokok ketiga.
Namun lagi-lagi, banyak orang tidak mau terbuka wawasannya. Isu perokok pasif dianggap final. Kalau datanya sudah disodorkan, baru kemudian mereka bilang: ya, tapi saya terganggu dengan asap rokok. Oke. Stop sampai di sini dulu.
Hal seperti ini pula yang sering mengganggu kewarasan nalar kita. Kalau Anda terganggu dengan asap rokok, sudah ada aturannya: Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sekaligus mengatur ada ruang untuk merokok. Kalau ada perokok yang bandel, melanggar aturan, orang itu yang salah. Sama kayak ada orang kebut-kebutan naik mobil atau sepeda motor. Maka, yang disalahkan pelakunya, bukan kendaraannya.
Perokok bisa salah sebagaimana pengemudi kendaraan bisa salah. Tentu saja yang salah harus diingatkan. Hukum harus ditegakkan! Tro tok tok tok tok!
Sudah mulai jernih ya. Lalu ada yang bertanya, lho kok saya tahu informasi itu? Ya membaca buku. Membaca artikel. Mengikuti isu ini. Sebagai pengantar, Anda bisa membaca buku Nicotine War. Sudah diterjemahkan. Di situ dibabat sejarah perang nikotin ini, termasuk beberapa penelitian yang disebut junk science itu. Masalahnya, mau tidak Anda membaca, dan membaca dengan rasa adil sejak dalam pikiran. Malu kan sama Pramoedya Ananta Toer yang ucapannya itu sering dikutip tapi ternyata kita tidak bisa melakukannya?
Soal rokok ini, bisa saya perpanjang. Tapi, saya tidak mau berlebihan. Cukup segini saja dulu. Kita geser sedikit ke kisah lain.
Dua tahun yang lalu saya memeriksakan anak saya yang saat itu berumur 3 tahun ke dokter keluarga kami. Dokter yang sekaligus dosen itu kira-kira bilang begini kepada saya, “Pak Puthut, Anda kan penulis, tolong bantu saya dan teman-teman.
Sekarang ini banyak sekali orang latah antigula dan antigaram. Sedikit-sedikit selalu kami dengar: gula berbahaya, garam berbahaya. Itu dikatakan kepada sembarang orang, lalu dipraktikkan dengan cara sembarangan.
Sekarang ini banyak sekali orang latah antigula dan antigaram. Sedikit-sedikit selalu kami dengar: gula berbahaya, garam berbahaya. Itu dikatakan kepada sembarang orang, lalu dipraktikkan dengan cara sembarangan.
“Gula dan garam itu penting bagi tubuh kita. Kalau berlebihan memang jadi bahaya. Tapi, tidak boleh kita katakan sembarangan kalau gula dan garam itu berbahaya. Lalu orang-orang diet gula dan garam tanpa tahu kondisi tubuh mereka sendiri apakah memang sudah berlebihan gula dan garam. Ini kenapa orang-orang merasa sok pintar sekali. Sialnya, kebanyakan orang kemudian menganggap hal itu sebagai kebenaran.”
Apa yang dikatakan dokter tersebut sepertinya sederhana, tapi bagi saya tidak. Keawaman kelas menengah kita atas satu isu dengan mudah disebarkan tanpa melihat situasi dan konteks. Sekarang ini semua penyakit, selain tertuduhnya karena rokok, mulai ada tuduhan lain: gula dan garam.
Pertanyaan lebih lanjut, memang pada setiap isu seperti itu apa ada keuntungannya? Silakan kita cek. Kalau perang nikotin sudah saya jelaskan siapa yang berantem dan siapa yang beruntung. Kalau soal minyak kelapa, kopi, gula, dan garam, siapa yang beruntung?
Masak sih Anda nggak tahu. Nggak tahu atau malas mencari tahu?
Eh, ngomong-ngomong beberapa tahun terakhir ini, beras juga dianggap jahat lho. Sumber penyakit. Harus dijauhi. Padahal nenek moyang kita mengonsumsi beras sudah lebih dari seribu tahun lalu. Mestinya kalau beras itu jahat, nenek-moyang kita sudah punah ya ….
Mestinya lho ya …. Lagian, kok senang sekali sih kita menimpakan kesalahan atas perilaku dan gaya hidup kita kepada benda-benda, tumbuhan, binatang, termasuk kepada satu orang?
Dengan poin-poin seperti itu, wajar saja jika ada hal yang salah, semua salah Jokowi, salah Prabowo, salah Ahok, salah Anies.