Jumat, 03 November 2017

Perempuan, Gender Kedua.

Tags


Dari zaman Dinasaurus sampai zaman Dina Saraswati (siapa tuh?) yang kita sebut sebagai ‘jaman now’, perempuan itu selalu dianggap sebagai gender kedua, padahal satu spesies sama laki-laki, cuma beda jenis doang! Tapi seperti yang sudah kita tau, perempuan itu selalu berada di bawah kedudukan laki-laki.

Entah bagaimana awal kemunculan stigma seperti itu. Bahkan, hampir di setiap agama sudah menanamkan pola pikir bahwa perempuan itu tidak bisa setara dengan laki-laki.

Di sini saya bukan bermaksud untuk menebarkan kebencian terhadap kaum laki-laki. Saya (dan mungkin banyak perempuan di luar sana) merasa semacam ‘gregetan’ melihat berbagai tindak diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. “Perempuan di rumah saja! Ngurus anak! Menyenangkan suami!”, “Perempuan tidak perlu mengejar karir terlalu tinggi, nanti suaminya bisa minder!”, “Perempuan itu harus yang sopan, lemah lembut, tidak boleh bicara kasar!”, “Perempuan itu harus terampil memasak, menjahit, berias”, dan lain sebagainya yang menuntut perempuan harus begini dan begitu.
Tidak ada kebebasan ketika kamu ‘terjebak’ dalam tubuh perempuan.

Hal-hal yang seperti itu hanya boleh dilakukan oleh laki-laki, perempuan tidak pantas melakukannya. Begitupun sebaliknya, hal-hal yang seperti ini hanya dilakukan oleh perempuan, jika laki-laki melakukannya maka akan dianggap tidak maskulin, tidak jantan, dan perkataan seperti itu sangat menyakitkan bagi sebagian laki-laki, itu artinya, jika laki-laki dianggap seperti perempuan, maka dia terkesan rendah, merasa terhina.

Coba, kalau ada perempuan naik pohon kelapa, pasti akan dianggap keren! Tapi kalau ada laki-laki yang melakukan Pole Dance (tarian dengan bantuan tiang), mungkin kamu agak geli ngeliatnya. Padahal dua kegiatan itu sama-sama beresiko patah tulang kalau jatuh.
Kita lihat kasus lain, semisal pemerkosaan. Banyak kasus pemerkosaan di mana pihak perempuan yang jadi korban justru malah disalahkan. Alasannya perempuan yang jadi korban pemerkosaan itu penampilannya dianggap ‘mengundang’ atau ‘mengajak’.

Lalu apa kabar para santriwati di beberapa ponpes yang jadi korban pencabulan oleh pak ustadz atau kiyainya? Apa kabar wanita berjilbab atau wanita tanpa jilbab yang berpakaian sopan, yang menjadi korban pelecehan seksual di jalanan atau tempat umum? Mengutip kalimat kak Fadel, seorang laki-laki dengan pemikiran mengagumkan : “Menahan nafsunya sendiri saja tak kuasa, malah melimpahkannya pada orang lain”. Adilkah?
Satu kasus pemerkosaan di tahun 2013 lalu, di mana sang Hakim menyatakan bahwa korban dan si pelaku sama-sama menikmati karena korban mengalami orgasme.

WTH!! Bukankah itu merupakan suatu respon biologis? Sama seperti ketika merasa takut atau kedinginan kemudian merinding. Ini si pak hakimnya lucu sekali, lebih lucu lagi karena proses damainya di-iya-kan begitu saja. Sekali lagi, adil gak sih?

Didiskriminasi, tidak mendapat ketidakadilan. Sampai kapan, budaya patriarki dan misogini terus lestari? Akankah selamanya perempuan menjadi warga kelas dua? Kepada kaum lelaki yang menganggap perempuan itu hanyalah makhluk rendahan, tidak lebih dari sebuah objek, tolong jangan lihat nenekmu, ibumu, saudara-saudara perempuanmu sebagai ‘perempuan’, tapi lihatlah mereka sebagai ‘manusia’. Sekian. Terima kasih.

Profil :
Herlyna Nouf. Penikmat kopi, musik, mawar, dan Orion.