Beberapa hari yang lalu, saya mendapati sebuah brosur bergambar cukup menggelitik di sebuah sudut pasar Klewer, Solo. Brosur tersebut, saya “pentelengi” dengan sangat serius, bahkan duarius, tentu sambil senyum “mesam-mesem”, seperti orang gila ketika membaca brosur tersebut.
Isi brosurnya adalah mengenai terapi “Pengaktifan Otak Tengah untuk Membuat Anak Cerdas dalam 2 Hari”. Bujubuset, serius bisa cerdas dalam 2 hari ? Jawabanya bisa iya bisa tidak. Jawaban iya biasanya diwakili oleh orang-orang yang overdosis Mie Instant, atau orang yang suka dengan kecerdasan”dadakan”. Sementara jawaban tidak biasanya diwakili oleh para saintis, yaitu sekelompok mahluk yang baru percaya akan suatu hal, jika bisa dibuktikan secara ilmiah.
Terkait masalah pengaktifan otak tengah, saya lebih memilih merapat kepada para gerombolan saintis. Artinya, saya meyakini dengan sepenuh hati bahwa program pengaktifan otak tengah hanyalah sebuah mitos disiang bolong (pseudo sains) atau tidak dapat membuat seseorang menjadi cerdas dalam dua hari seperti yang di “gembar-gemborkan.”
Karena dalam banyak teori dan aliran pendidikan ( classification studies), baik aliran naturalisme, pragmatisme, konvergensi, empirisme dan aliran pendikan “tetek bengek” lainya, tidak ditemui suatu premis bahwa kecerdasan bisa didapatkan secara instant ( intelligence mover).
Namun, kecerdasan baru dapat diraih ketika seseorang menjalani pergumulan panjang dengan suatu pengetahuan, serta ketika mendapat akumulasi pemikiran dan tindakan dari orang lain (given in group). Baik itu kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), maupun spiritual (SQ).
Kecerdasan yang didapat dari suatu pergumulan panjang ini sudah teruji. Dimana orang yang tadinya sama sekali bodoh terhadap suatu pengetahuan, lalu setelah di tempa dan belajar terus-menerus menjadi sangat ahli di bidangnya.
Contohnya pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri. Jika kita sedikit kepo terhadap Pak Indra. Ternyata akan kita dapati sebuah fakta menarik bahwa beliau dahulu sebetulnya tidak sama sekali mengalir darah sepakbola. Baik sebagai mantan pemain, maupun pernah mengenyam sekolah kepelatihan. Pak Indra hanyalah sebuah pegawai di PT Pos Indonesia, yang kemudian memutuskan keluar dari pekerjaanya lalu memfokuskan pada kepelatihan sepak bola.
Jalan berliku Pak Indra, dalam mencapai karir profesionalnya melatih Timnas, tidaklah semudah mendaki tangga. Tetapi sulitnya bukan main, sesulit mendaki Gunung Slamet, butuh waktu bertahun-tahun untuk menjadi pelatih cerdas hingga sekarang ini.
Bukan ketika seorang bayi Indra Sjafri jebrol dari kandungan langsung pintar melatih Timnas karena mewarisi gen bakat kepelatihan. Bakat pembawaan dari lahir itu omong kosong, siapa yang bilang bakat itu bawaan dari lahir sini maju, tak ajak salaman hehe.
Karena untuk mendapat sebuah kecerdasan butuh waktu yang sangat panjang, maka terapi Pengaktifan Otak Tengah untuk mendapatkan kecerdasan selama 2 hari adalah bohong belaka. Dalam dunia sains, aktivasi otak tengah termasuk kedalam pseudo sains yang tidak dapat diuji kebenaranya.
Bahkan, pakar spesialis saraf, Dr. Arman YurisaldiS, MS, SpS dalam bukunya “Mengungkap misteri otak tengah” menyatakan bahwa tanpa bukti dan metode penelitian yang benar, maka istilah “pengaktifan otak tengah” adalah istilah yang sama sekali tidak berdasar ilmiah.
Jika kita ada sedikit usaha mau membuka pelajaran biologi di “Jaman Old”, atau zaman ketika kita masih berputih abu-abu ria (SMA). Maka akan kita dapati bahwa otak tengah (mesencephalon) bukan berfungsi sebagai penyeimbang otak kanan maupun kiri. Tetapi berfungsi untuk pergerakan lingkaran pupil, bola mata, lensa mata, saraf visual ,serta gerak motorik. Otak tengah jelasnya berhubungan dengan fungsi penglihatan. Jadi tidak ada hubunganya dengan lotus kecerdasan.