Senin, 06 November 2017

Hari Pahlawan, Pancasila, dan Orang-Orang yang Dilupakan

Tags


Tak terasa, tak lama lagi kita akan memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November. Beragam perayaan dalam menjemput hari sakral ini biyasanya dengan menggelar apel upacara, tabur bunga dimakam pahlawan atau sekedar silaturohmi ke  Veteran Perang. Kunjungan ke Veteran Perang ini biasanya memilukan, terutama jika Veteran Perang yang ditemuinya itu hidup dalam kelaparan, serta tinggal dalam gubug-gubug reot yang tak layak.


Masalah klasikal ini sering ditemui di Indonesia, dimana kita begitu gampangnya melupakan jasa para pahlawan. Baik secara disengaja dilupakan karena alasan yang politis, atau memang benar-benar lupa. Tan Malaka, Semaun, Sultan Hamid II, dan para Pastoer Paroki di Kabupaten Ende adalah contoh dari sedikit pahlawan yang dihapus kontribusinya dalam panggung sejerah ini dikarenakan unsur politis.


Perasaan kecewa yang sampai saat ini menggelayuti pikiranku yaitu tentang para Pastoer Paroki di Kabupaten Ende, NTT yang sama sekali tidak dinarasikan unsur kepahlawananya dalam narasi sejarah terbentuknya Pancasila.

Kekecewaanku semakin bertambah manakala waktu saya SMA dahulu.

Guru mata pelajaran PPKN( Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan) ketika menerangkan sejarah terbentuknya Pancasila hanya berkutat pada sidang BPUPKI dan PPKI sebagai awal pembentukan Pancasila, tidak menyinggung sama sekali gagasan Pancasila di kota Ende, padahal sejarah pembentukan Pancasila sudah jauh dimulai ketika Soekarno dibuang di kota Ende, NTT oleh kolonial Hindia Belanda. Yang kemudian Soekarno ditolong oleh Para Pastoer diaspora dari Gereja Paroki.


Kalau saja guru mapel tersebut menerangkan sejarah terbentuknya Pancasila dari sisi Ende, saya yakin para siswa yang sudah mendapat pelajaran itu, akan menjadi siswa yang sangat moderat cinta akan keberagaman dan sadar diri bahwa Pancasila itu diperjuangkan oleh banyak kelompok agama tidak hanya (ulama) umat Islam saja, dan saya yakin siswa akan sadar bahwa Pancasila dibentuk itu untuk menghilangkan sekat-sekat agama dalam hal pertemanan, kerjasama, gotong-royong, tolong-menolong, dlsb dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Sayangnya sejarah terbentuknya Pancasila dari sisi Ende tidak di terangkan oleh kebanyakan guru-guru PPKN SMA di Indonesia tidak hanya di sekolah saya dahulu saja, karena memang modul buku PPKN yang beredar selama ini hanya membahas seputar BPUPKI dan PPKI saja.


Padahal, Ada banyak narasi sejarah dari para Sejarawan bahwa “mbrojolnya” Pancasila ke dunia itu jauh sebelum dibentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), namun munculnya draft Pancasila sudah jauh dimulai ketika Soekarno di buang sebagai Tapol (tahanan politik) di kota Ende, NTT tahun 1934-1938 setelah Soekarno di adili atas tulisanya berjudul “Indonesia Menggugat” sebagai protes kolonialisme Hindia-Belanda yang dianggap membahayakan bagi keberlangsungan kolonialisasi di Tanah Nusantara.


Sebagaimana tercatat dalam Outobiografi berjudul “Soekarno Penyabung Lidah Rakyat” yang ditulis wartawati Amerika Serikat ( Cinde Adam). Dalam buku itu Soekarno mengaku bahwa kota Ende adalah kota yang menginspirasi Soekarno dalam merumuskan Pancasila.

Perumusan draft Pancasila di Ende, tidak terlepas dari suasana kota Ende yang tenang dan plural, jauh berbeda suasananya ketika Soekarno masih di Bandung dengan aktivitas politiknya yang sibuk. Soekarno di kota Ende adalah Soekarno yang “mati secara politik”, bagaimana tidak mati Soekarno yang dahulu menentang kolonialisme Hindia-Belanda lewat pidatonya yang menggebu-gebu, kini dibungkam tidak bisa melakukan apa-apa.
Soekarno di Ende dalam pergerakannya banyak menemui para tokoh Pastoer diaspora yang saat itu berteman baik dengan Soekarno, walaupun keduanya berbeda secara agama tetapi tidak ada sekat-sekat yang menghalangi pertemanan mereka, Juga Soekarno sering berkontemplasi di danau Kalimutu dan di bawah pohon sukun depan rumahnya.

Dalam perenunganya itu Soekarno sadar bahwa para Pastoer yang banyak di temuinya di NTT itu menandakan bahwa Tanah Air Indonesia itu sangat “plural” dengan beragam agama, suku, etnis dlsb.

Maka perlu dibentuknya dasar negara yang berpijakan pada “nilai-nilai universalisme” yang bisa menampung semua golongan keagamaan, etnis, suku dlsb supaya dikemudian hari tidak timbul konflik sektetarian.

Dari kota Ende lah Soekarno memahami jika dasar negara Indonesia menganut dasar negara berdasarkan “teokrasi” (mengambil syariat agama tertentu untuk dijadikan dasar negara) sama saja akan menyulutkan peperangan saudara antara Indonesia Barat (Islam) dengan Indonesia Timur (Kristen, Katolik, dlsb), karena pemeluk keagamaan masing-masing bersifat “paling benar”, pemberlakuan negara dengan sistem teokrasi ditakutkan akan menimbulkan konflik-konflik horizontal dan ditakutkan negara tersebut tidak dapat di kritik, karena seolah ada wakil-wakil Tuhan yang absolut dan selalu benar, padahal keberlangsungannya negara itu harus siap di kritik manakala pemerintah memberlakukan kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat, sedangkan agama itu umumnya tidak bisa di kritik.


Pemikiran Soekarno supaya membuat dasar negara yang berpijakan kepada nilai-nilai universalisme, hasil penggalian pemikiran di kota Ende dari diskusinya dengan para Pastoer inilah yang kemudian disampaikan lewat pidato pembukaannya kepada seluruh anggota BPUPKI dan PPKI yang diketuai olehnya. Swlanjutnya, PPKI kemudian yang mengesahkan Pancasila.