Pressiwa.com - Kita
pasti sudah sering dengar ya, tentang teori evolusi yang dipopulerkan oleh ilmuwan
di tahun 1800-an, Charles Darwin. Sayangnya banyak orang salah paham soal teori
ini, mereka mengira bahwa manusia berasal dari kera atau monyet, padahal bukan
begitu maksudnya Darwin. Menurut Darwin, manusia dan kera berasal dari nenek
moyang yang sama.
Teori evolusi ini banyak ditentang oleh kaum agamawan (kaum
kreasionis), karena teori evolusi tidak sesuai dengan penciptaan manusia
menurut kitab suci agama Abrahamik. Para kreasionis selalu mencari celah untuk
meruntuhkan teori evolusi, salah satunya dengan pertanyaan mengenai “missing link” (mata rantai yang
hilang).
Mata rantai yang dimaksud adalah fosil ‘penghubung’ yang menunjukkan
bukti adanya perubahan dari “kera” sampai menjadi manusia modern. Kata “kera”
dalam kalimat barusan aku beri tanda kutip karena kata itu bukan arti yang
sesungguhnya. Sekali lagi, maksud dari teori Darwin bukan menyatakan bahwa
manusia adalah keturunan kera, tapi kera dan manusia berasal dari nenek moyang
yang sama. Jadi, “kera” yang dimaksud adalah makhluk menyerupai kera yang dari
masa ke masa berevolusi menjadi manusia.
Buku
fenomenalnya, On the Origin of Species yang
dirilis tahun 1859 menjadi rujukan bagi banyak ahli biologi dalam menulis buku,
salah satunya ahli biologi Richard Dawkins. Dalam tulisanku ini, aku mau
membahas tentang ‘mata rantai yang hilang’ berdasarkan tulisan Dawkins dalam
bukunya The Greatest Show on Earth –The
Evidence for Evolution (Pertunjukan Paling Agung di Bumi – Bukti-bukti bagi
Evolusi). Di masa Darwin, penemuan fosil-fosil yang menghubungkan manusia
dengan makhluk sejenis kera memang belum lengkap, tapi setelah kepergian Darwin,
penemuan fosil-fosil manusia purba mulai banyak ditemukan.
Sembilan
tahun setelah wafatnya Charles Darwin, yaitu pada tahun 1891, seorang
antropolog dari Belanda, Eugene Dubois menemukan fosil manusia purba di Trinil,
Jawa Timur, yang disebut Java Man (Manusia
Jawa) dan diberi nama Pithecanthropus
erectus. Padahal, dulu Darwin pernah bilang, kalau mau mencari fosil-fosil
manusia purba itu sebaiknya dimulai dari Afrika, karena di sana ada banyak
jenis primata yang menunjukkan kekerabatan dengan manusia, tapi Dubois memilih
mencarinya di benua Asia, dimana manusia-manusia purba di benua itu umurnya
masih baru, kurang dari satu juta tahun, dan tentunya sudah mengalami banyak
perubahan dari bentuk leluhur aslinya.
Kenapa sih, Darwin menyarankan buat
mencari fosil manusia purba di Afrika. Soalnya dulu, duluuuuuu banget, daratan
di bumi kita ini adalah satu, tapi karena faktor geologi, daratan ini bergeser
dan terpisah menjadi beberapa daratan atau yang kita sebut sebagai benua Antartika,
Afrika, Amerika Selatan, Australia, New Zealand, India, Balkan, Madagaskar, dan
pulau Irian (Papua) itu dulunya jadi satu, disebut benua Gondwana.
Benua itu bergeser ke selatan ketika daratan besar di bumi terpisah sekitar 200 juta
tahun lalu. By the way, kalau kita
lihat, orang-orang Papua memang ada kemiripan secara fisik sama orang-orang
Afrika, ya kan?
Kita
kembali ke fosil manusia purba. Berhubung Pithecanthropus
erectus atau Manusia Jawa temuan Dubois itu relatif muda, yaitu kurang dari
satu juta tahun, jadi dia dikelompokkan bersama dengan kita dalam genus Homo. Homo erectus.
Sekitar 1,8 juta
tahun lalu, fosil manusia purba yang lebih tua ditemukan di Georgia, namanya Homo Georgicus. Secara fisik dia lebih
primitif, primitif dalam hal ini maksudnya lebih mirip dengan nenek moyang,
tulang rahangnya lebih menonjol dibanding Homo
erectus. Donald Johanson, menemukan fosil yang jauh lebih tua dari itu.
Ditemukan di Ethiopia, fosil itu diberi nama Australopithechus afarensis, usianya setengah dari usia nenek
moyang kita bersama simpanse, yaitu 3,9 juta tahun lalu. Diketahui, leluhur
kita berusia sekitar enam juta tahun lalu. Australopithecus
berarti “kera dari selatan”, tidak ada hubungannya dengan Australia yang
artinya “negara Selatan”.
Spesies
lain dari genus Australopithecus ditemukan
pada tahun 1924 oleh Raymond Dart di Afrika Selatan, dinamai Australopithecus africanus. Karena fosil
itu ditemukan mati diusia muda, jadi dia terkenal dengan sebutan Taung Child (Anak Taung). Usianya hampir
sama dengan Australopithecus afarensis
tapi sedikit lebih muda, yaitu 3,3-2,1 juta tahun.
Mrs. Ples (Nyonya Ples) adalah nama populer untuk temuan tengkorak
yang paling lengkap dari Australopithecus
africanus. Nyonya Ples ditemukan pada tahun 1947 di Sterkfontein, Afrika
Selatan, oleh Robert Broom dan John T. Robinson. Usia fosil itu sekitar 2,6
juta tahun lalu.
Dalam
bukunya Richard Dawkins, disebutkan tiga penemuan tengkorak manusia purba yang
mengalami perubahan nama. Ada tengkorak dengan kode KNM ER 1813 dan tengkorak
KNM ER 1470, keduanya sama-sama berusia sekitar 1,9 juta tahun lalu dan ditempatkan
dalam genus Homo.
Namun, dua
tengkorak itu pernah punya nama yang berubah-ubah. Tengkorak 1813 mengalami
perubahan nama dari Autralopithecus
habilis menjadi Homo habilis. Tengkorak
1470 pun mengalami perubahan nama, dari Australopithecus
habilis menjadi Homo habilis, lalu berubah ke Australopithecus rudolfensis, dan kembali menjadi Homo, Homo rudolfensis.
Tengkorak
lainnya, dengan kode OH 24 yang disebut “Twiggy”, juga punya dua nama berbeda.
Sebagian antropolog menamai Twiggy dengan Australopithecus
habilis, sementara beberapa antropolog lain menamainya Homo habilis. Padahal, secara fisik Twiggy lebih mirip Nyonya Ples dari genus Australopithecus dengan ciri moncong yang menonjol, sementara
tengkorak 1813 dan 1470 lebih mirip Manusia Jawa yang sama-sama masuk ke dalam
genus Homo.
Di
sini lah, terjadi semacam kebingungan dalam menempatkan ‘titik perantara’
antara genus Australopithecus dan
genus Homo. Kebingungan itu justru
membuktikan bahwa mata rantai yang dianggap hilang itu sebenarnya tidak hilang.
Catatan fosil kita dilakukan secara berkelanjutan, mencakup semua perubahan
evolusioner, dan saking banyaknya hasil temuan fosil manusia purba, para antropolog
sampai bingung buat menentukan tengkorak X termasuk ke dalam genus ini atau genus itu karena tengkorak-tengkorak itu mengalami sedikit demi sedikit
perubahan dari waktu ke waktu.
Fosil-fosil
yang jauh lebih tua, masuk ke dalam genus Australopithecus,
dicirikan dengan rahang yang lebih menonjol ke depan, mirip dengan
simpanse, sedangkan manusia purba yang lebih modern masuk ke dalam genus Homo, termasuk kita ini adalah Homo. Jadi, kalau ada teman yang nanya
“Kamu cowok homo ya?” jawab aja “iya”, gak usah ragu.
Berdasarkan hasil
penemuan, bisa dipastikan leluhur kita lebih mirip dengan simpanse, itu lah
kenapa makhluk sejenis kera menjadi yang pertama dalam rangkaian gambaran
singkat evolusi manusia, yang menyebabkan banyak orang jadi salah memahami
teori evolusi. Sampai saat ini, fosil-fosil sudah banyak ditemukan, mulai dari
yang berusia 6 juta tahun sampai yang relatif baru berusia ratusan ribu tahun. Banyak
dari fosil temuan tersebut yang sudah diberi nama, seperti Homo heidelbergensis, Homo neanderthalensis, dan Homo rhodesiensis.
Sebagian temuan
lainnya disebut Homo sapiens kuno.
Apapun namanya, yang terpenting, mata rantai-mata rantai yang hilang di masa
Darwin sekarang sudah ditemukan. Jadi, mata rantai yang hilang itu sudah tidak
lagi hilang. Gitu penjelasanya bebebku yang cuakepp, hehe ☺☺
Penulis Herlyna Nouf
Penikmat Kopi dan Orion
Penulis Herlyna Nouf
Penikmat Kopi dan Orion
EmoticonEmoticon