Kamis, 28 Juni 2018

Mata Rantai Teori Evolusi Sebetulnya Itu Tidak Hilang

Tags


Pressiwa.com - Kita pasti sudah sering dengar ya, tentang teori evolusi yang dipopulerkan oleh ilmuwan di tahun 1800-an, Charles Darwin. Sayangnya banyak orang salah paham soal teori ini, mereka mengira bahwa manusia berasal dari kera atau monyet, padahal bukan begitu maksudnya Darwin. Menurut Darwin, manusia dan kera berasal dari nenek moyang yang sama. 

Teori evolusi ini banyak ditentang oleh kaum agamawan (kaum kreasionis), karena teori evolusi tidak sesuai dengan penciptaan manusia menurut kitab suci agama Abrahamik. Para kreasionis selalu mencari celah untuk meruntuhkan teori evolusi, salah satunya dengan pertanyaan mengenai “missing link” (mata rantai yang hilang).

Mata rantai yang dimaksud adalah fosil ‘penghubung’ yang menunjukkan bukti adanya perubahan dari “kera” sampai menjadi manusia modern. Kata “kera” dalam kalimat barusan aku beri tanda kutip karena kata itu bukan arti yang sesungguhnya. Sekali lagi, maksud dari teori Darwin bukan menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tapi kera dan manusia berasal dari nenek moyang yang sama. Jadi, “kera” yang dimaksud adalah makhluk menyerupai kera yang dari masa ke masa berevolusi menjadi manusia.

Buku fenomenalnya, On the Origin of Species yang dirilis tahun 1859 menjadi rujukan bagi banyak ahli biologi dalam menulis buku, salah satunya ahli biologi Richard Dawkins. Dalam tulisanku ini, aku mau membahas tentang ‘mata rantai yang hilang’ berdasarkan tulisan Dawkins dalam bukunya The Greatest Show on Earth –The Evidence for Evolution (Pertunjukan Paling Agung di Bumi – Bukti-bukti bagi Evolusi). Di masa Darwin, penemuan fosil-fosil yang menghubungkan manusia dengan makhluk sejenis kera memang belum lengkap, tapi setelah kepergian Darwin, penemuan fosil-fosil manusia purba mulai banyak ditemukan.

Sembilan tahun setelah wafatnya Charles Darwin, yaitu pada tahun 1891, seorang antropolog dari Belanda, Eugene Dubois menemukan fosil manusia purba di Trinil, Jawa Timur, yang disebut Java Man (Manusia Jawa) dan diberi nama Pithecanthropus erectus. Padahal, dulu Darwin pernah bilang, kalau mau mencari fosil-fosil manusia purba itu sebaiknya dimulai dari Afrika, karena di sana ada banyak jenis primata yang menunjukkan kekerabatan dengan manusia, tapi Dubois memilih mencarinya di benua Asia, dimana manusia-manusia purba di benua itu umurnya masih baru, kurang dari satu juta tahun, dan tentunya sudah mengalami banyak perubahan dari bentuk leluhur aslinya.

Kenapa sih, Darwin menyarankan buat mencari fosil manusia purba di Afrika. Soalnya dulu, duluuuuuu banget, daratan di bumi kita ini adalah satu, tapi karena faktor geologi, daratan ini bergeser dan terpisah menjadi beberapa daratan atau yang kita sebut sebagai benua  Antartika, Afrika, Amerika Selatan, Australia, New Zealand, India, Balkan, Madagaskar, dan pulau Irian (Papua) itu dulunya jadi satu, disebut benua Gondwana.

Benua itu bergeser ke selatan ketika daratan besar di bumi terpisah sekitar 200 juta tahun lalu. By the way, kalau kita lihat, orang-orang Papua memang ada kemiripan secara fisik sama orang-orang Afrika, ya kan?

Kita kembali ke fosil manusia purba. Berhubung Pithecanthropus erectus atau Manusia Jawa temuan Dubois itu relatif muda, yaitu kurang dari satu juta tahun, jadi dia dikelompokkan bersama dengan kita dalam genus Homo. Homo erectus.

Sekitar 1,8 juta tahun lalu, fosil manusia purba yang lebih tua ditemukan di Georgia, namanya Homo Georgicus. Secara fisik dia lebih primitif, primitif dalam hal ini maksudnya lebih mirip dengan nenek moyang, tulang rahangnya lebih menonjol dibanding Homo erectus. Donald Johanson, menemukan fosil yang jauh lebih tua dari itu.

Ditemukan di Ethiopia, fosil itu diberi nama Australopithechus afarensis, usianya setengah dari usia nenek moyang kita bersama simpanse, yaitu 3,9 juta tahun lalu. Diketahui, leluhur kita berusia sekitar enam juta tahun lalu. Australopithecus berarti “kera dari selatan”, tidak ada hubungannya dengan Australia yang artinya “negara Selatan”.

Spesies lain dari genus Australopithecus ditemukan pada tahun 1924 oleh Raymond Dart di Afrika Selatan, dinamai Australopithecus africanus. Karena fosil itu ditemukan mati diusia muda, jadi dia terkenal dengan sebutan Taung Child (Anak Taung). Usianya hampir sama dengan Australopithecus afarensis tapi sedikit lebih muda, yaitu 3,3-2,1 juta tahun.

Mrs. Ples (Nyonya Ples) adalah nama populer untuk temuan tengkorak yang paling lengkap dari Australopithecus africanus. Nyonya Ples ditemukan pada tahun 1947 di Sterkfontein, Afrika Selatan, oleh Robert Broom dan John T. Robinson. Usia fosil itu sekitar 2,6 juta tahun lalu.

Dalam bukunya Richard Dawkins, disebutkan tiga penemuan tengkorak manusia purba yang mengalami perubahan nama. Ada tengkorak dengan kode KNM ER 1813 dan tengkorak KNM ER 1470, keduanya sama-sama berusia sekitar 1,9 juta tahun lalu dan ditempatkan dalam genus Homo.

Namun, dua tengkorak itu pernah punya nama yang berubah-ubah. Tengkorak 1813 mengalami perubahan nama dari Autralopithecus habilis menjadi Homo habilis. Tengkorak 1470 pun mengalami perubahan nama, dari Australopithecus habilis menjadi Homo habilis, lalu berubah ke Australopithecus rudolfensis, dan kembali menjadi Homo, Homo rudolfensis.

Tengkorak lainnya, dengan kode OH 24 yang disebut “Twiggy”, juga punya dua nama berbeda. Sebagian antropolog menamai Twiggy dengan Australopithecus habilis, sementara beberapa antropolog lain menamainya Homo habilis. Padahal, secara fisik Twiggy lebih mirip Nyonya Ples dari genus Australopithecus dengan ciri moncong yang menonjol, sementara tengkorak 1813 dan 1470 lebih mirip Manusia Jawa yang sama-sama masuk ke dalam genus Homo.

Di sini lah, terjadi semacam kebingungan dalam menempatkan ‘titik perantara’ antara genus Australopithecus dan genus Homo. Kebingungan itu justru membuktikan bahwa mata rantai yang dianggap hilang itu sebenarnya tidak hilang.

Catatan fosil kita dilakukan secara berkelanjutan, mencakup semua perubahan evolusioner, dan saking banyaknya hasil temuan fosil manusia purba, para antropolog sampai bingung buat menentukan tengkorak X termasuk ke dalam genus ini atau genus itu karena tengkorak-tengkorak itu mengalami sedikit demi sedikit perubahan dari waktu ke waktu.

Fosil-fosil yang jauh lebih tua, masuk ke dalam genus Australopithecus, dicirikan dengan rahang yang lebih menonjol ke depan, mirip dengan simpanse, sedangkan manusia purba yang lebih modern masuk ke dalam genus Homo, termasuk kita ini adalah Homo. Jadi, kalau ada teman yang nanya “Kamu cowok homo ya?” jawab aja “iya”, gak usah ragu. 

Berdasarkan hasil penemuan, bisa dipastikan leluhur kita lebih mirip dengan simpanse, itu lah kenapa makhluk sejenis kera menjadi yang pertama dalam rangkaian gambaran singkat evolusi manusia, yang menyebabkan banyak orang jadi salah memahami teori evolusi. Sampai saat ini, fosil-fosil sudah banyak ditemukan, mulai dari yang berusia 6 juta tahun sampai yang relatif baru berusia ratusan ribu tahun. Banyak dari fosil temuan tersebut yang sudah diberi nama, seperti Homo heidelbergensis, Homo neanderthalensis, dan Homo rhodesiensis.

Sebagian temuan lainnya disebut Homo sapiens kuno. Apapun namanya, yang terpenting, mata rantai-mata rantai yang hilang di masa Darwin sekarang sudah ditemukan. Jadi, mata rantai yang hilang itu sudah tidak lagi hilang. Gitu penjelasanya bebebku yang cuakepp, hehe ☺☺

Penulis Herlyna Nouf
Penikmat Kopi dan Orion


EmoticonEmoticon