Minggu, 08 April 2018

Ternyata Orang yang Terlihat Tinggi, dan Gemuk Secara Fisik Belum Tentu Sehat


Pressiwa.com - Ketika teman kita ada yang Ulang Tahun, biasanya kita akan diucapin “semoga tetap sehat ya “, begitulah seringnya. Disisi ini, kita bisa melihat bagaimana kesehatan itu jadi nomor satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi.

Kesehatan kemudian lalu disamakan dengan kebahagiaan. Orang belum dikata bahagia, jika dirinya tidak sehat. Kesehatan lalu disamakan dengan kebahagiaan. Orang tidak akan bahagia, jika kondisi tubuhnya tidak sehat.

Untuk menjadi yang lebih sehat, manusia juga perlu menata pikiran serta pola hidupnya dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, atau istilah dalam bahasa Jawa nya kita kenal sebagai  “jernih pikirane”.  Ada keterkaitan antara pemikiran yang jernih, sehat, dan kuat dengan nilai kesehatan selama ini.


“Makna Kesehatan Mengalami Penyempitan”


Namun, makna tentang kesehatan sendiri belakangan mengalami penyempitan. Sadar, atau tidak, kita hanya memandang kesehatan dalam arti fisik saja.

Orang lalu mengartikan bahwa orang yang terlihat gagah, kulitnya bersih, terlihat gemuk, dan segala “tetek bengek” indikator lainya sebagai sesuatu yang menyehatkan. Banyak pula orang yang rajin makan-makanan bergizi, dan rajin berolahraga hanya untuk mendapatkan kesehatan.

Namun jika orang yang terlihat ganteng, gemuk, kulitnya bersih, dan terlihat keren walaupun hidupnya sedih, dan merana. Maka ini sebetulnya kondisi kesehatannya sedang tidak karu-karuan.

Saya ingin mengajukan suatu konsep. Bahwa hakikat dari kesehatan adalah sesuatu yang harmoni. Harmoni berarti keadaan yang selaras dengan berbagai dimensi yang ada pada diri manusia.

Mulai dari dimensi teologis, sosial, fisiologis, dan, historis. Harmoni bukan hirup yang flat-flat saja, atau tanpa masalah. Melainkan harmoni yaitu bentuk penataan konflik-konflik yang berjalan selaras dengan keteraturan masyarakat.


“Dimensi-Dimensi Dari Kesehatan”


Pada dimensi fisik, orang-orang perlu makan-makanan bergizi seperti makan-makanan semur jengkol, makan kue apem, makan kue kamir, makan gorengan “tlembuk”, minum susu, dlsb.

Kadang juga harus dilengkapi dengan olahraga yang menyehatkan seperti fitness, push up, dlsb. Terkahir ditutup dengan istirahat yang cukup.


“Dimensi Sosial”


Yang kedua yaitu dimensi sosial. Orang perlu berdamai dengan musuh-musuhnya.  Dan juga kompetitor-nya. Sehingga dalam jiwanya bisa memperoleh kedamaian. Orang oke-oke saja sering konflik dengan orang lain.

Namun konflik, dan tegangan dengan orang lain tidak boleh ada rasa kebencian yang ada pada dalam hatinya. Tapi harus diatur, sehingga konflik-konflik yang muncul dengan orang lain dimaksudkan untuk perubahan yang lebih baik.


“Dimensi Teologis”


Ketiga yaitu dimensi teologis. Di dalam dimensi ini, manusia perlu berbicara dengan Tuhannya. Bagi orang-orang yang religius, hal ini sudah tentu harus dipenuhi kalau ingin sehat. Orang perlu memanjatkan doa, baik secara personal, maupun secara bersama-sama di dalam satu komunitas masjid, gereja, pura, dlsb.

Bagi para Atheis yang tak percaya kepada Tuhan. Mereka memahami Tuhan bagian dari alam. Atau sebagai energi yang menciptakan seluruh alam semesta. Bentuk hakikatnya tentu berbeda, namun hakikatnya tetap sama. Yakni kesadaran bahwa ada kekutan yang lebih selain manusia.


“Dimensi Historis”


Orang perlu berdamai dengan masa lalunya. Sepanjang hidup, kita tentu pasti mengalami masa-masa yang memilukan dalam hidup. Baik itu masa lalu yang menyebalkan, menjengkelkan, maupun masa lalu yang bikin kita ingin rasanya “makan kabel”.

Semua masa lalu tersebut bukan untuk dilupakan, tapi dimaklumi sebagai perjalanan hidup yang semua orang pasti pernah mengalaminya. Dari penerimaan inilah, akan muncul kedamaian dalam hati.

Jadi ada empat dimensi untuk meraih kesehatan yang paripurna, kesehatan yang istilahnya bukan sehat ?”tipu-tipu”. Keempat dimensi yang harus dipenuhi yaitu dimensi teologis, historis, dimensi sosial, dimensi dan dimensi fisiologi.

Kalau mau sehat betulan, keempat dimensi tersebut harus dipenuhi. Jika cuma ada beberapa saja dimensi yang sudah terpenuhi, tapi dimensi lain ada yang belum. Maka selama itu pulalah orang tersebut belum dianggap sehat.

Jadi, ada empat dimensi dari kesehatan yang harus diperhatikan, yakni dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi teologis dan dimensi historis. Berbicara kesehatan berarti berbicara keempat dimensi tersebut.

Jika salah satu dimensi saja yang kuat, sementara yang lain lemah, maka orang itu tidaklah sehat. Keempat dimensi itu harus dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan.


“Menjaga Jarak”


Pertanyaan yang lebih sulit adalah, bagaimana kita bisa mencapai keselarasan di antara empat dimensi tersebut? Bagaimana kita bisa sehat secara fisik, sosial, teologis maupun historis? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini.

Namun, menurut saya, jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang berjudul Awareness. Ia mencoba menggali kebijaksanaan dari berbagai peradaban di dunia, walaupun ia kuat mengakar di dalam tradisi Kristiani dan Buddhisme.

Langkah pertama adalah dengan menyadari perasaan-perasaan di dalam diri kita. Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita mendapat hadiah atau berkat lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul ini di dalam hati kita.

Kita tidak boleh menolak perasaan ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disini letak langkah pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita seutuhnya dengan perasaan itu.

Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan jati diri kita yang asli.

Misalnya, kita merasa sedih. Kita tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu. Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu.

Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli, melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja, sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.

Kata kunci disini adalah mengamati. Kita perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi, ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada sesuatu yang sedih.

Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Inilah inti dari kesadaran diri. Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam sejarah, mulai dari Sokrates, Yesus, sampai dengan Martin Luther King.

Intinya, kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi maupun perasaan kita! Kita harus menjadi pengamat yang berjarak atas perasaan-perasaan kita sendiri.


“Kesehatan sebagai Pencerahan”


Dua hal berperan amat penting disini. Yang pertama adalah komunitas. Manusia adalah mahluk sosial, maka ia memerlukan orang lain dan komunitas, juga untuk mencapai kesehatan. Peran komunitas amatlah penting untuk mendukung, terutama ketika orang sedang berada dalam penderitaan.

Orang yang telah sadar, yakni orang yang telah berhasil menjaga jarak dari emosi maupun perasaannya, lalu akan berperan semakin aktif di dalam komunitas, supaya bisa membantu orang-orang lainnya.

Yang kedua adalah kesehatan fisik. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang gizi. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang tidur. Maka, kesehatan fisik (keselarasan fisik) tetaplah penting untuk diperhatikan, walaupun ini hanya satu bagian saja dari kesehatan manusia.

Ketika orang hidup dalam harmoni di dalam empat bidang yang sudah saya jelaskan di atas, maka ia akan sampai pada Pencerahan. Para filsuf dan mistikus ingin mencapai kebijaksanaan dengan mencapai pencerahan batin.

Inilah inti pencerahan batin tersebut, yakni harmoni empat dimensi. Jadi, kesehatan tidak hanya terkait dengan kebahagiaan, tetapi juga pencerahan.

Penulis : Reza A.A Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala.




EmoticonEmoticon