Kompetisi dan Komparasi
Mari kita cermati keadaan pendidikan global sekarang ini. Di semua negara, dua prinsip pendidikan diterapkan, tanpa ada sikap kritis, yakni kompetisi dan komparasi, atau perbandingan. Kompetisi dianggap sebagai prinsip suci yang tak boleh dibantah. Anak didorong untuk berkompetisi menjadi yang terbaik dari antara teman-temannya, jika perlu dengan mengorbankan kebahagiaan maupun kecerdasan alami yang ia punya.
Kompetisi menjadi ukuran di berbagai tingkat pendidikan. Sang juara dipuja layaknya dewa. Sementara, nomor dua dan seterusnya dianggap pecundang yang terus terabaikan. Tak heran, banyak anak justru kehilangan keceriaan dan kebahagiaan alaminya, karena ia pergi ke sekolah untuk memperoleh pendidikan.
Prinsip kedua adalah komparasi, atau perbandingan. Di dunia pendidikan, ranking menjadi nomor satu. Komparasi memang tak bisa dipisahkan dari kompetisi. Keduanya bertaut erat tidak hanya di dalam menghancurkan keluhuran pendidikan, tetapi juga di dalam membunuh vitalitas kehidupan itu sendiri.
Akibatnya, anak tak pernah merasa puas dan bahagia dengan dirinya sendiri. Ia selalu merasa tertekan, guna memenuhi keinginan lingkungan sosialnya, terutama dengan memenangkan kompetisi dan menjadi yang terbaik dibandingkan dengan teman-temannya.
Tak heran pula, tingkat bunuh diri anak usia sekolah meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di berbagai negara, lemahnya dukungan keluarga dan terus meningkatnya beban pendidikan di sekolah menjadi faktor utama, sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti di The University of Southern Mississippi di dalam penelitian yang berjudul Student Suicide: A Negligence Issue in Higher Education.
Pendidikan Ketinggalan Jaman
Ada dua hal yang kiranya menjadi penyebab. Pertama, pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia, masih menggunakan cara berpikir di masa revolusi industri pertama. Di dalam cara berpikir ini, pendidikan itu adalah proses manufaktur, seperti di pabrik. Semua bahan diolah dengan cara yang sama, dan kemudian keluar dalam bentuk dan mutu yang sama. Keseragaman menjadi ukuran utama dari keberhasilan pabrik yang bernama pendidikan.
Ken Robinson, di dalam bukunya yang berjudul Creative Schools: The Grassroots Revolution That’s Transforming Education, berulang kali menegaskan hal ini. Pendidikan yang dilihat seperti pabrik justru membunuh unsur utama pendidikan itu sendiri, yakni kreativitas. Kreativitas muncul dari keberagaman dan perbedaan. Ia juga muncul dari kemanusiaan dan kebahagiaan yang dibiarkan tumbuh secara alami di dalam pendidikan.
Dua, pendidikan di abad 21 juga sudah terkena virus neoliberalisme. Di dalam paham ini, segala unsur kehidupan diukur semata dengan nilai ekonomi. Uang menjadi dewa, dan segala nilai lain terpinggirkan. Akibatnya, pendidikan justru merusak budaya demokrasi yang membutuhkan pemikiran kritis dan kepekaan moral kemanusiaan, serta menjadi semata pengabdi kepentingan pasar.
Inilah argumen yang ditawarkan oleh Henry Giroux di dalam bukunya yang berjudul On Critical Pedagogy.
Neoliberalisme telah memasuki tidak hanya sistem birokrasi adminstratif pendidikan, tetapi juga roh pendidikan itu sendiri. Kompetisi dan komparasi dilihat sebagai sesuatu yang jauh lebih berharga, daripada kerja sama dan keberagaman minat serta dorongan alami manusia. Yang tersisih adalah mereka yang miskin, karena tak mampu mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, atau bahkan mendapatkan pendidikan sama sekali.
Revolusi Mental Pendidikan
Menanggapi racun-racun pendidikan di atas, dua hal kiranya bisa dilakukan. Pertama, arah dan filsafat dasar pendidikan harus diubah sama sekali. Pendidikan sebagai pabrik dan pendidikan yang mengabdi pada kepentingan pasar haruslah diubah sampai ke akarnya. Yang kemudian diterapkan adalah pendidikan kritis dan humanis, sebagaimana dirumuskan oleh Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung.
Pendidikan kritis adalah pendidikan yang mengedepankan pertanyaan dan analisis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat. Analisis ini kemudian dibalut dengan kepekaan moral dan rasa kemanusiaan tertentu, guna menentukan langkah yang tepat untuk mengubah keadaan. Ini semua lalu mendorong tindakan bersama dalam ragam bentuk gerakan sosial untuk mendorong perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, demokratis dan makmur. Pendidikan yang kritis dan humanis, demikian kata Nida-Rümelin, akan membuat pendidikan kembali relevan untuk kehidupan manusia sebagai keseluruhan.
Dua, pandangan Jaggi Vasudev, di dalam bukunya yang berjudul Inner Engineering: A Yogi’s Guide to Joy, kiranya juga penting untuk diperhatikan. Ia menekankan, bahwa pendidikan yang pertama dan terutama adalah pendidikan untuk memahami jati diri manusia yang sebenarnya sebagai mahluk semesta. Ia berdiri setara dengan semua mahluk yang ada di alam semesta ini. Inilah inti utama dari pendidikan kosmopolit, sebagaimana juga dirumuskan oleh para pemikir Stoa, terutama Markus Aurelius di dalam bukunya yang berjudul Meditations.
Sebagai warga semesta, perbedaan lalu dilihat sebagai kulit semata. Pada intinya, semua mahluk itu sama dan setara, baik secara biologis maupun metafisis. Kesamaan ini lalu mendasari berbagai keberagaman yang dirayakan dalam perdamaian dan kebahagiaan.
Dalam keadaan seperti ini, jauh dari kompetisi dan komparasi, kemampuan alami manusia bisa bertumbuh dengan gemilang. Kompetisi dan komparasi memang merupakan dua racun mematikan pendidikan. Ia membunuh pendidikan itu sendiri, beserta kemanusiaan para pendidik dan peserta didik. Kebahagiaan dan spontanitas kehidupan dilenyapkan atas dasar kepatuhan buta dan ambisi untuk menjadi yang nomor satu. Mau sampai kapan kita menyiksa anak-anak kita dengan cara seperti ini?
EmoticonEmoticon