Joshua Opennheimer lewat film dokumenternya berjudul The Look of Silence and The Act of Killing ) atau dalam Bahasa Indonesia Jagal dan Senyap ini cukup membuat kalangan militer (TNI AD) merasa was-was. Pasalnya film yang berlatar belakang pada peristiwa tragedi 1965 ini sangat berlawanan dengan doktrin film Penghianatan G30S/PKI yang dianggap ahistoris.
Film Penghianatan G30S/PKI bagi saya bukanlah sebuah film sejarah, melainkan sebuah film horor beraliran slasher yang dibumbui dengan efek tumpahan darah, dan bumbu atau tambahan sinematografi lain yang apik. Film ini dinilai janggal ketika terdapat ketidak sesuaian antara fakta sejarah dan narasi filmnya.
Kejanggalan itu bisa dilihat pada tokoh antagonis DN Aidit yang diperankan oleh Syubah Asa. Pada film garapan Arifin C.Noer ini DN Aidit adalah perokok berat, DN Aidit dalam setiap adeganya tidak lepas dari asap rokok yang mengebul. Jelas adegan merokok ini janggal dan ahistoris, karena tidak sesuai dengan fakta sejarah, DN Aidit diketahui justru tidak suka merokok. Aidit lewat Resolusi Partai bahkan menghimbau kader-kader PKI untuk tidak merokok, supaya mendapat pemasukan lebih untuk kongres partai (Asal-Usul Dana Partai Komunis Indonesia).
Dalam literatur lain, anak Aidit, Murad Aidit mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang pecandu rokok. Begitupula ayah kami tidak pernah merokok atau jarang sekali merokok. Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok. Demikian dikutip dalam buku Aidit Sang Legenda.
Pada tahun 1965, beberapa media yang berafiliasi dengan militer memberitakan bahwa para jendral disiksa sangat kejam sebelum dibunuh, media Harian Bersenjata edisi 6 Oktober 1965 ketika itu menarasikan “matanya dicungkil” , “kulitnya disilet-silet”. Sementara media bernama Berita Yudha edisi 10 Oktober 1965 menarasikan “Ada yang dipotong alat kelaminya.”
Kekejaman PKI dalam menyiksa Jendral kemudian diabadikan dalam film lewat adegan menyilet dimuka seorang Jendral yang diambil dari pagar rumah bambu. Namun, apa yang digambarkan dalam film dari berita-berita tersebut tampak janggal tatkala dihadapkan pada sebuah “visum et repertum.”
Kala itu ada 5 tim ahli yang dilibatkan dalam penelitian ini diantaranya yaitu, Dr. Brigjen Roebiono, dr.Kolonel Frans Pattrisiana, dr. Sutomo Tjokronegoro, dan dr. Liau Yang Siang. Hasil visum ini kemudian terekam dengan baik oleh seorang Indonesianis bernama Ben Anderson dalam sebuah jurnal berjudul “How Did The General Die” yang dipublikasi pada tahun 1987. Jurnal ini yang kemudian membuat Soeharto beram, dikarenakan jurnal yang memuat hasil “visum et-reperetum” ini tidak ditemukan tanda-tanda penyiksaan berupa pencukilan mata, pemotongan kelamin, atau penyilet-nyiletan wajah seperti mana yang digambarkan.
Dari keenam Jendral yang ada diketahui tewas karena luka tembak, sementara Mayjen MT Haryono tewas akibat luka tusukan. Sejumlah kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta sejarah inilah yang membuat saya berkesimpulan bahwa film ini bukanlah film sejarah karena banyak memiliki kelemahan historis. Melainkan film horor yang mendeskripsikan peristiwa G30S dengan tokoh heroik Soeharto.
Kenapa disebut film horor karena film ini berhasil membuat penontonya ketakutan dan meninggalkan traumatis daripada pelajaran sejarah itu sendiri, efek dramatisasi dari tata suara yang memorable-scream seperti pada film Psycho (1960) karya Alfred Hitchcock ini dimaksudkan bagian dari propaganda Orde Baru, agar ketika mendengar isu PKI langsung lari tunggang langgang ketakutan. Sementara dramatisasi efek penuh darah dan sayatan luka (gore) saya melihat film G30S/PKI ini terinspirasi dengan film Texas ChainSaw Masaccre (1983) atau film horor serupa yang lebih tua The Last House On The Left (1973).
Saya menduga Arifin C.Noer terinspirasi dari kedua film ini mengingat ada kemiripan dari segi setting, musik, wardrobe penuh sayatan luka pada film Penghianatan G30S/PKI tahun 1982. Efek-efek yang penuh dramatisir dari film ini bagi saya tidak penting, kecuali jika film ini dimaksudkan untuk film horor, dikarenakan dapat menghilangkan interpretasi terhadap substansi sejarah itu sendiri. Film sejarah yang memenuhi historis kuat tidak menggambarkan hitam-putih monolitik atas interpretasi sejarah.
Tragedi G30S sangatlah komplek, ada disertasi dari Adi Suwirta (2003) yang menghasilkan tesis bahwa tragedi G30S ini didalangi oleh CIA atas kepentingan kepenguasaan Freeport dengan lingkaran tewasnya presiden Amerika Serikat, JF Kennedy dan upaya kudeta terhadap Soekarno. Ada juga disertasi bahwa apa yang dilakukan PKI adalah kudeta terhadap militer bukan kudeta terhadap Pemerintahan Soekarno dan Pancasila, sementara dalam disertasi John Rossa (1998) Soeharto adalah dalangnya dan PKI hanya menjadi korban.
Jelasnya tragedi G30S masih abu-abu, apalagi tidak ditemukan dokumen Supersemar asli yang tidak jelas rimbanya. Saya sendiri lebih meyakini bahwa tragedi G30S itu dipicu oleh provokasi kekuatan internasional. Ada pihak-pihak tertentu yang tidak suka dengan gagasan Nasakom (baca Pancasila) nya Soekarno yang berhasil mendemonstrail persatuan nasional dari ketiga ideologi itu.
Indonesia kemudian chaos dan tumbang dengan kapitalisme global setelah kekuatan kiri dihabisi ke akar-akarnya dikarenakan lantang menyuarakan anti exploitation de l’homme par l’homme’ dan ‘exploitation de nation par nation.
Maka sudah sangat jelas saya kira bahwa film propaganda Penghianatan G30S/PKI yang bertujuan melanggengkan kekuasan Soeharto ini sudah tidak perlu lagi ditayangkan secara wajib, jika ngotot ingin ditayangkan kembali secara wajib seperti sebelum tahun 1998 saya setuju dengan generasi milenial bahwa film ini perlu direvisi, tentunya dibuang adegan-adegan tidak perlu yang terbukti ahistoris.
Maka sudah sangat jelas saya kira bahwa film propaganda Penghianatan G30S/PKI yang bertujuan melanggengkan kekuasan Soeharto ini sudah tidak perlu lagi ditayangkan secara wajib, jika ngotot ingin ditayangkan kembali secara wajib seperti sebelum tahun 1998 saya setuju dengan generasi milenial bahwa film ini perlu direvisi, tentunya dibuang adegan-adegan tidak perlu yang terbukti ahistoris.
Jika film G30S/PKI dibuat versi baru juga harus bersih dan netral dengan kepentingan politik tertentu. Tidak perlu mendramatisir film ini seperti pada film horor yang membuat penontonya trauma ketakutan, bukanya anak-anak mendapat pelajaran sejarah yang diharapkan tak terulang kembali. Malah meninggalkan sejumlah trauma.
Sejalan dengan sejarawan Dr. Asvi Warman dalam tulisanya Film Sebagai Agen Sejarahsaya menginginkan film sebagai agen sejarah harus dibuat dengan historis yang kuat. Tidak pelu ada yang didramatisir, ditambah-tambahi, juga tidak perlu ada yang disembunyi-sembunyikan. Walaupun itu pahit, sejarah harus diungkap.
Film Penghianatan G30S/PKI selama ini masih terfragmentasi, pembuatan film ini menihilkan fakta sejarah terjadinya pembantaian masal kepada orang-orang yang dituduh PKI tanpa peradilan yang diseponsori militer. Data dari YPKP, Bedjo Untung, yang juga penyintas pembantaian 1965 mengatakan, setidaknya ada 122 lokasi kuburan massal. Sementara menurut para sejarawan setidaknya ada 500.000 ribu yang dibantai baik simpatisan non PKI maupun simpatisan PKI tanpa peradilan.
Adanya pembantaian ini kemudian menggugah sineas sejarah kelahiran Amerika Serikat, Joshua Opennheimer lewat filmnya berjudul The Look of Silence and The Act of Killing ) atau dalam Bahasa Indonesia Jagal dan Senyap untuk merekonstruksi narasi sejarah ini. Setelah kemunculan film ini, belakangan kalangan militer sedikit terusik, karena sudut pandang yang dihadirkan dalam film ini sangat berbeda dari film Penghianatan G30S/PKI.
Joshua Opennheimer lewat filmnya berhasil mendokumentasikan para saksi sejarah yang melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI, para saksi sejarah begitu cairnya memerankan kronologi pembantaian dengan apik tanpa merasa bersalah sama sekali, sementara ada beberapa saksi sejarah ada yang menangis ketika mengkronologikan pembantaian itu. Mereka menyesal atas tindak kekejianya itu. Joshua Opennheimer juga menyadarkan ada orang-orang yang “mabuk nasionalisme” atau dalam kata lain ultranasionalisme, yang berujung pada tindakan kekerasan tanpa peradilan atas nama nasionalisme.
Pelajaran sejarah yang dapat diambil tentunya kita sepakat bahwa walaupun PKI bersalah tapi tidaklah bijak mengamini pembantaian masal tanpa peradilan, apalagi pembantaian itu berada pada tingkat grassroot yang banyak dari korban tidak tahu apa-apa. Alangkah sangat bagusnya jika film G30SPKI jika mau dibuat versi baru menjangkau peristiwa sejarah ini, saya menginginkan melihat film sejarah dari berbagai sudut pandang. Saya juga menginginkan orang-orang yang dituduh PKI yang tak terlibat pada peristiwa G30S ditingkat grassroot seperti Supardi, Sampan Purba, Sudjijanto, Suparno, dan banyak lagi mendapat pemulihan nama.
Mereka tidak tahu apa-apa, tapi sangat memilukan ketika orang-orang ini menanggung derita dikucilkan masyarakat, hak-haknya sebagai warga negara juga dinomor duakan.
Dalam hal ini, apa yang diharapkan generasi milenial adalah upaya rekonsiliasi kepada orang-orang yang tidak bersalah dalam tragedi 1965, saya juga menginginkan pihak-pihak yang benar-benar terlibat untuk meminta maaf, bukan kepada PKI tapi korban tak bersalah yang dituduh terlibat dalam tragedi G30S.
Dalam hal ini, apa yang diharapkan generasi milenial adalah upaya rekonsiliasi kepada orang-orang yang tidak bersalah dalam tragedi 1965, saya juga menginginkan pihak-pihak yang benar-benar terlibat untuk meminta maaf, bukan kepada PKI tapi korban tak bersalah yang dituduh terlibat dalam tragedi G30S.
Dengan begitu upaya persatuan nasional dan dendam kedua pihak baik kelompok kiri, nasionalis, agamis (baca: Nasakom) yang berperan dalam sublimasi Pancasila bisa bersatu. Bukan sibuk mengurusi kewajiban pemutaran film G30S/PKI yang sudah tidak relevan dan terbukti lemah historis. Salam Jasmerah.