Pressiwa.com - Kalau berpakaian itu “mbok ya” yang tertutup, bila perlu dicadari, jangan seperti orang-orang Barat yang dari dahulu sudah berpakaian mini jauh sebelum Indonesia merdeka. Lihatlah para wanita zaman dahulu di Nusantara, dari dahulu pakainya sudah tertutup, nah itu baru dicontoh. Begitulah salah satu ibu-ibu penjual esteh, kepada remaja gadis SMP yang tak sengaja saya “plentengi”. Bukan karena saya terpesona loh ya.
Mendengar ucapan penjual esteh. Sebenarnya ada yang janggal, jika kita sedikit melek tentang perkembangan tata cara berpakaian orang Barat “zaman lawas”. Terutama sebelum Indonesia merdeka. Kalau saja gadis SMP itu dijejali dengan teori antropologi. Mungkin saja gadis SMP itu memberontak nakal. Dengan mengatakan bahwa apa yang diungkapkan oleh penjual esteh keliru. Cara berpakaian orang-orang Barat zaman dahulu justru lebih tertutup dari perkembangan gaya berbusana kontemporer.
Para gadis Barat, baik Eropa Barat ataupun Amerika Serikat. Pada abad ke 18 banyak yang menggunakan baju kurung. Ada semacam konstruksi sosial yang berkembang pada kaum wanita Barat, bahwa menampilkan “bodi mlenuknya” adalah sebuah hal yang tabu.
Bahkan untuk sekedar menampilkan tangan atau tumitnya saja risih. Gaya berpakaian Wanita barat zaman dulu ini sering diangkat dalam film-film klasik Hollywood misalnya seperti pada film berjudul 12 Years a Slave, yang menggambarkan wanita-wanita berpakaian tertutup di tengah pusaran konflik rasial Amerika Serikat.
Ucapan ibu penjual esteh yang menganggap bahwa wanita Nusantara zaman dahulu berpakaianya tertutup juga keliru. Wanita Nusantara justru banyak yang tidak berpakaian tertutup, terutama setelah periode Pra Mataram Kuno.
Ada semacam pemahaman yang berkembang dimasyarakat ketika itu, bahwa tidak menutup pakaian secara tertutup adalah semacam bentuk ekspresi kejujuran. Sifat wanita Nusantara, terutama wanita Jawa tergambar ciamik dalam buku The Histori Of Java karya Thomas Stamford Raffles yang melukiskan bahwa karakter wanita nusantara abad ke 18 bersifat polos. Jika para pembaca yang budiman tidak percaya silahkan bisa lihat dokumentasi jadul foto maupun video yang berpose “topless” para wanita di Bali di awal abad ke 19 di jamin “klabakan” hehe.
Mengapa Wanita Barat Jadul Berpakaian Tertutup, Sedangkan Wanita Timur Terbuka?
Gejala Kebudayaan Barat dan Timur dalam sejarahnya memang banyak bertentangan, Timur dan Barat tidak pernah sinkronik. Pada saat yang bersamaan, wanita Nusantara ketika itu dikonstruksi oleh pemahaman naturalisme, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa untuk menyatu dengan alam bisa dicapai dengan melepas segala atribusi yang menempel tubuhnya, sementara Barat dikonstruksi oleh pemahaman patriarki, dimana terdapat batas-batas tertentu yang tidak boleh dilakukan wanita atas lawan gender nya.
Apa yang terjadi dengan gaya berpakaian Wanita Barat dan Timur, serta transformasi nilai yang begitu cepat layaknya Falentino Rosi menunggangi motornya adalah karena tatanan nilai yang pasti akan selalu berubah mengikuti zaman. Nilai itu tidak “ajeg”, kalau diibaratkan dengan benda, nilai itu bukanlah sebuah “Jenazah sing ora obah”. Namun nilai itu sebuah bayi manusia, yang akan terus berkembang atau berubah mengikuti konstruksi sosial masyarakat tentang sebuah kepantasan atau tidak.
Bisa saja, makan menggunakan tangan kiri di Indonesia yang sekarang dianggap tabu, lalu dikemudian hari berubah menjadi sesuatu yang biasa. Seiring dengan ditemukannya teknologi bionik atau karena kegagalan evolusi genetik yang tidak memungkinkan menggunakan tangan kananya misalnya.
Tentu saja, sebuah entitas dari nilai tabu maupun moralitas yang berkembang dimasyarakat pastinya bersifat lokal-subyektif dan lokal-terbatas. Misalnya, kebudayaan suka menanyakan kabar ( civil society ) yang lazim ditemui masyarakat Indonesia. Belum tentu dianggap baik oleh kebudayaan masyarakat Barat, yang sangat mengutamakan ketenangan privasi. Sementara sebaliknya, Masyarakat Indonesia pastilah menilai kebudayaan masyarakat Barat yang menjunjung privasi itu adalah kebudayaan buruk yang individualistik.
Bahkan konstruksi nilai bisa ditemui lebih sempit lagi di tingkat kedaerahan (local wisdom). Misalnya jika kita terbiasa “selpa- selpi, dan “menjepret” sana-sini bak super model “dadakan” tanpa terikat nilai tabu, baik di Kota Pemalang, maupun di Kota Surakarta. Jika kamu melakukan selfi di tengah masyarakat suku Kenkes atau Baduy, tindakan selfimu itu bukanya mendapat apresiasi, namun justru dihukumi. Lantaran memang suku Baduy terikat dengan nilai dan norma-norma kemurnian alam.
Adanya kenyataan pluralitas nilai, dan kebudayaan ini seharusnya kita menyadari bahwa kita bukanlah suatu kepenguasaan entitas kepantasan, juga bukan kepenguasaan paling bermoral. Karena merasa dirinya paling bermoral lalu “nyinyir” terhadap orang asing di luar komunitas kebudayaan yang tindakanya berbeda. Misalnya dengan menuduh “perempuan bule” murahan, atas tindakanya menggunakan pakainya mini.
Dalam konteks Indonesia, saya memang mengamini bahwa wanita Indonesia sebaiknya berpakaian tertutup, karena itu memang konstruksi nilai yang ada di masyarakat Indonesia saat ini. Namun bukan berarti wanita Barat yang berpakaian mini itu murahan. “Emangnya” wanita itu tahu bulat, digoreng dadakan lima ratusan, murah amat.
Wanita tetaplah berlian bagaimanapun cara berpakainya yang terpenting mengikuti budaya yang berlaku dimasyarakat setempat.
Jangan sampai bentrokan tak berujung tentang gaya berpakaian Wanita Barat dan Wanita Timur yang sepele ini, melupakan penyakit moralitas yang lebih substansif dan luas. Seperti perdagangan wanita, KDRT, politik misoginis, dan kekerasan seksual yang sampai saat ini masih menggelayuti banyak kaum wanita di dunia.
EmoticonEmoticon