Pressiwa.com - Peristiwa 'Mako Brimob,' rangkaian pemboman gereja-gereja di Surabaya pada hari Minggu kemarin, kasus pemboman bunuh diri di Polwiltabes Surabaya hari ini, serta berbagai kasus sejenis lainnya, membuktikan bahwa dalam jaman yang sangat rasional sekalipun, agama bisa dikapitalisasi untuk menjadi benteng pelindung yang kokoh bagi terancamnya identitas individu ataupun kolektif; juga bisa dimanfaatkan sebagai 'mesin pembunuh' dalam skala yang halus, sampai yang paling sadis dan dahsyat. Sejarah panjang agama-agama memaparkan dengan jelas bahwa setiap agama berjuang untuk menjadi rahmat bagi semesta, tetapi juga memiliki jejak yang berdarah-darah dalam penghancuran kemanusiaan. Itu berlangsung sampai kini dengan skala yang berbeda.
Tak Cukup Bila Hanya Melawan
Gelombang teror yang dilakukan atas nama agama dalam seminggu terakhir ini tidak serta merta membuat kita harus dengan lantang berteriak 'teroris tidak beragama'. Tidak! Mereka beragama, dan diinspirasi untuk melakukan teror berdasarkan tafsir mereka terhadap agama atau keyakinan yang dianutnya. Mengatakan teroris tidak beragama seakan membasuh muka dari rasa malu, karena kita gagal mencegah penggunaaan agama sebagai mesin teror yang pro kematian.
Kita memang harus menolak teror dan segala bentuk kekerasan atas nama agama, tetapi rasanya tak adil bila agama-agama tak cukup berjuang untuk menegakan keadilan, yang dalam skala tertentu ditafsir juga secara subjektif sebagai alasan dibalik tindakan-tindakan teror. Apakah beta secara tak langsung mendukung teror? Tentu tidak! Pilihan teror sebagai instrumen perjuangan adalah pilihan yang pro kematian. Ini patut ditolak dan dilawan oleh para penganut agama, sekalipun alasannya demi keadilan.
Tak seorangpun akan menyangkal bahwa panggilan suci agama-agama adalah mewartakan kehidupan. Tetapi melawan dengan mengutuk saja tak akan pernah menyelesaikan akar masalahnya. Kecenderungan kita untuk selalu 'berjuang melawan (struggle against)' haruslah diimbangi dengan kesediaan 'berjuang untuk (struggle for)'.
Agama-agama tak bisa hanya berjuang melawan teror dan konflik atas nama agama, tanpa mengimbanginya dengan berjuang untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Tak cukup bagi agama-agama untuk berjuang melawan konflik dan kekerasan, tanpa berjuang keras untuk membangun dan merawat perdamaian. Berjuang melawan kebencian dan dendam tidaklah digdaya bagi agama-agama, tanpa berjuang untuk membuka dialog dan menawarkan pengampunan. Ironisnya, bilamana berjuang untuk melawan tak cukup kita lakukan, tetapi berjuang untuk membangunpun tak sepenuhnya kita kerjakan.
Ambiguitas Menyuburkan Lahan Bagi Terorisme
Kita marah ketika teror telah terjadi, tetapi kita tak melawan ketika ujaran-ujaran kebencian serta intoleransi atas nama agama berkembang pesat, dan menyuburkan radikalisme sebagai pra kondisi lahirnya terorisme. Kita mengutuk ketika korban-korban aksi terorisme bergelimpangan tetapi kita tak melawan ketika, demi pemuasan syahwat politik, intoleransi atas nama agama atau etnis dipanggungkan dengan seksi dalam relasi-relasi sosial kita.
Di lain pihak, perjuangan untuk membangun perdamaian, toleransi, dialog, dan harmoni sosial seakan menapak di jalan sunyi. Banyak orang menganggap bahwa tiadanya konflik fisik adalah garansi bagi penciptaan perdamaian dan harmoni sosial. Mereka lalai melihat bahwa segregasi sosial dan pematangan konflik simbolik antar kelompok terus terkelola dan berkembang, menunggu momentum untuk meledak sebagai konflik ataupun teror terbuka.
Kita harus melawan terorisme! begitulah semua orang berteriak, termasuk beta. Tetapi melawan saja tidaklah cukup, sebab tindakan melawan adalah perilaku yang dilatari oleh spirit ketakutan. Karenanya bagi beta, segala tuntutan untuk mensahkan UU Anti Terorisme, atau pengembangan project 'Counter Violent Extremism (CVE)' yang kini sedang populer, bukanlah resep mujarab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan terorisme 'berbasis agama'.
Semua instrumen ini berkarakter melawan, cenderung mengedepankan pendekatan keamanan, dan dilandasi oleh spirit ketakutan. Telah terbukti bahwa CVE yang awalnya dikembangkan sejak konflik Afghanistan, kemudian dipertegas sebagai pilihan strategis ketika terjadi penyerangan menara kembar di kota New York, tak banyak efektif menyelesaikan kasus-kasus terorisme sampai kini. Kecuali bila varian-varian CVE telah mengalami modifikasi berdasarkan evaluasi menyeluruh terhadap kelemahannya.
Karenanya beta tidak yakin bahwa UU Anti Terorisme, ataupun CVE, dapat menghentikan niat satu keluarga di Surabaya untuk mewakafkan dirinya sebagai bom hidup yang menghancurkan kemanusiaan. Masalah krusialnya ada pada pemanfaatan ‘agama’, yang ketika mengalami internalisasi sebagai ideologi kekerasan tak akan dapat dihentikan oleh penggunaan instrumen-instrumen sekuler semacam CVE ataupun UU Anti Teroris. Tafsir agama sebagai ideologi kekerasan yang pro kematian hanya dapat diimbangi dengan tafsir dan kerja keras agama-agama sebagai instrumen yang pro hidup.
Agama-Agama Harus Bangkit
Menyikapi berkembangnya situasi terror atas nama agama, maka pilihan bagi agama-agama adalah bangkit dan melawan pembajakan terhadap pesan-pesan sucinya yang pro hidup. Agama-agama harus berjuang keras untuk melawan pemanfaatan ruang-ruang ritual, maupun ruang public sebagai lahan penyemaian benih kebencian antar kelompok masyarakat. Sejalan dengan itu, perjuangan agama-agama untuk membangun keadilan, perdamaian, dan harmoni social semestinya dilakukan juga dengan sungguh dan konsisten.
Agama-agama bukanlah ‘kanopi kudus’ tempat Allah berdiam, yang harus melulu dirawat melalui ritual dan sesembahan. Bumi adalah ‘kanopi kudus’ dimana Allah bertahta, karenanya semua agama terpanggil untuk bersama Allah merawat bumi, bukan untuk menghancurkannya.
Gelombang teror atas nama agama memang membuat kita marah, namun tak harus melulu meradang dan terus mengutuk. Ini adalah koreksi keras terhadap pola keberagamaan kita yang cenderung bersibuk ria merias tembok-tembok ritualistic yang rigid dan kaku, tetapi lalai merias bumi dengan keadilan, kebenaran, dan harmoni antar ciptaan.
Untuk alasan apapun kita menolak terror atas nama agama, karena terror bukanlah pilihan jalan pembebasan yang diamanatkan agama-agama. Hanya ketika agama-agama gagal mengkaryakan kerja-kerja pembebasannya secara kontinu dan bermartabat, maka secara tak langsung ia telah turut menyumbangkan peluang bagi para teroris untuk membajak agama sebagai instrument terror yang
mematikan.
Penulis: Jack Manuputty
Staff Direktur Hubangan Antar Agama dan Peradaban
EmoticonEmoticon