Terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik untuk ditelaah dan diteliti bagi para ilmuwan bahasa (linguist) tentang terdapatnya sejumlah fakta dan realitas sosial dewasa ini, bahwa terdapat seseorang yang mempersepsikan suatu bahasa secara berbeda-beda. Seperti terdapatnya bahasa yang bersifat “suci-sakral”, maupun terdapat pula bahasa yang bersifat “profan-sekuler”, dan terdapat pula sejumlah kelompok agama yang menganggap “bahasa agama” adalah “bahasa agamis”.
Anggapan terdapatnya bahasa bercorak yang “agamis-sakral” ini disebabkan karena bahasa tersebut digunakan dalam teks-teks suci agama, ritual keagamaan, maupun dipakai sebagai komunikasi para pendiri dan “leluhur agama” mereka. Maka (sebagian) para pengikut agama ini memperlakukan “bahasa agama” tadi sebagai “bahasa agamis” yang “suci-sakral” dan tak mengalami glokalisasi bahasa. Meskipun terdapat juga kelompok agama yang sangat fleksibel atau longgar dalam memperlakukan bahasa ini.
Beberapa Bahasa yang Dianggap “Agamis-Sakral”
Beberapa bahasa yang termasuk ke dalam kategori “bahasa agama” atau “bahasa agamis” oleh sebagian pengikutnya yaitu misalnya, bahasa Pali yang digunakan dalam teks-teks keagamaan untuk umat Budha Therevada, bahasa Sanskrit untuk umat Budha Mahayana serta umat Budha di Tibet, dan bahasa Sanskrit serta Tamil untuk umat Hindu.
Selain itu, terdapat pula kaum Yahudi yang menganggap Hebrew sebagai “bahasa suci” (leshon ha-kodesh), dan sebagian kelompok Yahudi lain memakai dan menganggap Aram, Yiddish, Kaddish, atau Hebrew Rabbinic sebagai “bahasa agamis”.
Umat Kristen lebih kompleks lagi. Ada banyak bahasa yang sebagian dari umat mereka menganggap sebagai “bahasa agama” dan “bahasa agamis” seperti pada bahasa Yunani, Latin, Aram, Koptik, Old Georgian, Classical Armenian, Arab, Slavonic, dan Romania.
Lalu, bagaimana dengan umat Islam? Mayoritas dari umat Islam-pun sama menganggap bahasa Arab sebagai “bahasa agama” dan “bahasa agamis”. Walaupun dahulu terdapat sejumlah kelompok Muslim seperti kaum Nizari yang menganggap bahasa Persi sebagai “bahasa sakral”.
Bahasa Arab Belum Tentu Islami
Hal yang mungkin tidak disadari atau (tidak dimengerti) oleh sebagian besar kaum Muslim masa kini adalah bahasa Arab modern itu tidak sama dengan bahasa Arab klasik atau (disebut fushah) yang dipakai dalam penulisan di dalam Al-Quran, Al-Hadis, dan teks-teks keislaman klasik, maupun sebagai bahasa komunikasi (tuturan) generasi Muslim awal termasuk tentu saja oleh Nabi Muhammad dan pada masa abad pertengahan.
Sekarang, bahasa Arab klasik ini hampir punah karena masyarakat Arab modern sendiri sudah jarang mempraktikan dalam percakapan sehari-hari dan jarang menggunakannya dalam penulisan buku-buku akademik. Dalam berkomunikasi, mereka lebih suka menggunakan “bahasa Arab pasar” atau “Arab gaul” (‘Ammiyah), sementara dalam penulisan akademik lebih menggunakan “bahasa Arab standar” (Modern Arabic Standard). Dengan kata lain, bahasa Arab klasik ini semakin tampak “antik” di masyarakat Arab sendiri.
Hal ini memang tidak terlihat aneh, karena bahasa apapun termasuk bahasa Arab akan terus mengalami perubahan mengikuti sifat kebahasaan yang bersifat arbitrer. Kata arbitrer ini mengandung arti manasuka. Tetapi istilah arbitrer disini adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa yang berwujud bunyi pada bahasa (Arab klasik) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang pada lambang itu ( Arab modern), Abdul Chaer (1994:45)
Celakanya, sebagian umat Islam di Indonesia, khususnya yang “kearab-araban” itu menganggap “bahasa Arab” gaul sebagai “bahasa Al-Quran” atau, lebih parah lagi “bahasa surga”. Padahal jelas bahasa maupun tuturan yang digunakan oleh Nabi Muhammad, Al-hadis, dan Al-Quran itu tidak menggunakan bahasa Arab jenis ini, melainkan bahasa Arab Gaul (‘Ammiyah) yang jelas sangat berbeda.
Jadi, tidak perlu merasa lebih saleh atau merasa lebih agamis jika sudah bilang Antum–Antum, Abi–Umi, Akhi-Ukhti, Ikhwan-Akhwat, Afwan-Syukron dan seteruanya.
Ujaran aku-kamu, bapak-ibu, saudara perempuan, terimakasih, hatur nuwun, matur nuwun dan seterusnya juga sama saja dengan ujaran bahasa Arab tersebut, tidak ada kaitanya dengan bahasa Islami atau bahasa Agamis, keduanya sama derajatnya sebagai bahasa yang profan-sekuler dan kesalehan memang tidak ditentukan oleh jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, melainkan oleh perilaku individual-sosial kita, dan juga kepatuhan terhadap rukun agama.
Ujaran aku-kamu, bapak-ibu, saudara perempuan, terimakasih, hatur nuwun, matur nuwun dan seterusnya juga sama saja dengan ujaran bahasa Arab tersebut, tidak ada kaitanya dengan bahasa Islami atau bahasa Agamis, keduanya sama derajatnya sebagai bahasa yang profan-sekuler dan kesalehan memang tidak ditentukan oleh jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, melainkan oleh perilaku individual-sosial kita, dan juga kepatuhan terhadap rukun agama.
Boleh berbicara menggunakan bahasa apa saja termasuk bahasa Arab, tetapi jangan merasa paling agamis lalu menganggap bahasa lain selain bahasa Arab di bawah levelnya, sehingga menganggap salah seseorang yang mau masuk ke rumahmu mengucapkan “kulonuwun” lalu orang tersebut langsung kamu nyinyirin suruh diganti dengan ucapan “assalamualaikum” biar lebih agamis misalnya.
Itu keliru Brey, kesalehan tidak harus dinilai dari bahasanya, harusnya kamu jawab “Inggeh, monggo mlebet mawon” Mas Lutfi Aminuddin yang ganteng. Begitu kan enak.
Setuju, kan ,kan ? Hehe
Setuju, kan ,kan ? Hehe